DENPASAR, BALIPOST.com – Balian, sebutan untuk penyembuh tradisional Bali. Sama halnya dengan penyembuh modern yakni dokter, balian juga memiliki kode etik dengan sebutan sesana. Salah satu isi sesana balian, jika menerima sesari dari pasien, wajib dibagi tiga bagian. Dua bagian untuk balian, satu bagian lagi dikembalikan ke pasien.
Uraian kode etik balian diulas dalam buku “Sesana Balian, Etika Penyehatan Tradisional Bali” yang ditulis Ketua DPP Gotra Pangusadha Bali, Dr. Dr. Suta Adnyana, S.H., M.H. Kepada Tim Bali Post Talk, Suta Sadnyana memaparkan bahwa masyarakat Bali hingga kini masih membutuhkan bantuan pengobatan dari balian. “Balian juga merupakan profesi sehingga ada kode etik yang mestinya ditaati,” katanya.
Sejumlah lontar, menurut Suta Adnyana menyebutkan tentang sesana balian, yakni Usadha Buda Kecapi dan Tutur Panugrahan Dalem. Dalam lontar Usadha Buda Kecapi, sejumlah sesana disebutkan yakni, tidak boleh mencegah seseorang yang sudah ditakdirkan akan mati, tidak boleh sesumbar, tidak boleh berbohong, tidak boleh serakah akan bayaran atau sesari.
Bahkan ada aturan terperinci jika menerima sesari dalam banten atau canang sari dari pasien, maka dibagi tiga bagian. “Menurut isi lontar Usadha Buda Kecapi, jika balian menerima sesari, setelah dihaturkan ke hadapan Hyang Widhi, dua pertiga boleh diambil balian yang sepertiga sisanya dikembalikan si sakit,” terang Suta. Ada hukumannya jika sesari diambil semua oleh balian yakni dikutuk oleh Sang Puseh Daksina, kesaktian akan hilang, keluarga jatuh miskin dan berakibat buruk kepada anak cucu.
Ada juga sesana yang mengatur jika si pasien sembuh dan naur sesangi, sesari juga dibagi tiga yakni untuk balian, untuk si sakit dan keluarga yang merawat si sakit. “Hanya saja sesana seperti ini, sudah tidak banyak diikuti,” terang pria kelahiran Bajra Tabanan ini.
Sesana balian juga disebutkan dengan terang dalam kitab suci Ayur Wedha. Menurut Suta yang beberapa waktu lalu menerima gelar profesor kehormatan dari Bodhisastra University Florida ini, dalam Ayur Wedha, balian atau vaidya haruslah manusia panutan yang baik, berbuat semaksimal mungkin mengerahkan seluruh kemampuan dan kepandaian untuk menyelamatkan dan menyembuhkan pasien.
Sesana balian berada dalam wilayah etik lebih banyak mengatur perilaku. Suta mengakui bahwa ada oknum balian yang melakukan tindak pidana seperti penipuan, penggelapan bahkan pembunuhan. “Untuk mereka yang melakukan tindak pidana tentu akan diproses hukum sesuai undang-undang,” tegasnya.
Di sisi lain, Suta menjelaskan sesana balian idealnya ditegakkan oleh dewan etik organisasi. “Di Bali sudah ada organisasi penyehat tradisional Bali yakni Gotra Pangusadha sesuai dengan pergub nomor 55 tahun 2019,” katanya. Para balian di Bali diharapkan bergabung agar mendapatkan perlindungan secara hukum.
Para penyembuh tradisional telah diatur dalam peraturan pemerintah dan juga undang-undang. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2023 tentang Kesehatan mengakui keberadaan pelayanan kesehatan tradisional. Kementerian Kesehatan RI melalui peraturan menteri mensyarakatkan kepada penyehat tradisional untuk memiliki Surat Terdaftar Pengobat Tradisional (STPT) dan Surat Izin Pengobat Tradisional (SIPT).
Menurut Suta, pentingnya seorang balian mendaftarkan diri dan mendapatkan SIPT adalah untuk memudahkan pengawasan dan melindungi balian dari tuntutan. Misalnya, ada pasien yang menuntut pengembalian pembayaran jasa (sesari) karena tidak sembuh setelah diobati oleh pasien. Atau jika ada tuntutan dari pasien atas dugaan kesalahan pengobatan. (Nyoman Winata/balipost)