DENPASAR, BALIPOST.com – Belakangan ini cukup banyak oknum wisatawan asing atau bule yang berulah di Bali. Hal ini jelas menujukkan ada yang eror dalam tata kelola pariwisata Bali.
Terutama menyangkut behavior wisman secara umum. Hal ini pun dikeluhkan oleh pelaku pariwisata dan akademisi. Pariwisata Bali dinilai masih semrawut.
Praktisi sekaligus pelaku pariwisata, Puspa Negara, mengatakan dalam hal pariwisata berkualitas dan berkelanjutan serta standar penyelenggaraan kepariwisataan budaya Bali ada fenomena nyeleneh atas maraknya perilaku bule yang makin ke sini makin menjadi-jadi, liar dan chauvinis. Ia mengatakan jika memotret perkembangan pariwisata saat ini, maka selain kita patut bersyukur dengan pertumbuhannya yang menjadi generator pertumbuhan ekonomi, di sisi lain kita lupa akan dampaknya yang begitu dahsyat menyentak dan memalukan.
Kata dia, setidaknya ada 5 persoalan mendasar yang dijumpai sebagai pelaku pariwisata yang mereduksi tatanan destinasi wisata Bali. Pertama, lingkungan mengalami tekanan yang luar biasa hingga tata ruang menjadi kacau balau, sampah bertebaran, hingga terkikisnya secara masif pesona bentang alam.
Kedua, infrastrukur yang belum mengarah world class infrastructure, seperti trotoar tidak layak, canstein suram, jalan sempit, hingga macet parah di kawasan yang bertumbuh, over head capital semrawut, tiang beranak, dan kabel-kabel bercucu bak jaring laba-laba raksasa.
Ketiga, keamanan Bali juga tampak tak terjaga dengan baik. Setiap hari ada copet, jambret, penipuan, hingga kriminalitas macam rupa dilakukan oleh pelaku kejahatan dan juga oleh bule. Seharusnya Bali memiliki tourism police.
Keempat, behavior yaitu perilaku masyarakat dan juga perilaku wisman tampaknya setali tiga uang. Banyak bule yang juga meniru perilaku warga, hingga berperilaku beringas, kasar, ngamuk, berkelahi dan terakhir membawa truk ugal-ugalan hingga masuk ke bandara. “Bandara sebagai objek vital ternyata sangat mudah ditembus oleh pelaku kejahatan, bayangkan jika truk itu isinya bahan peledak, betapa lemah sistem keamanan dan pencegahan dini keamanan di bandara,” keluh Puspa Negara.
Persoalan mendasar kelima, yaitu good will pemerintah terhadap pariwisata belum terlihat signifikan, kecuali pemerintah sangat agresif menarik PHR dan Tourism Levy yang arah penggunaannya belum terasa menjadi equalizing power dalam memajukan dan menjadikan pariwisata berkualitas dan berkelanjutan. “Dari potret ini kita melihat betapa semrawutnnya pengelolaan kepariwisataan kita, hingga memunculkan perilaku bule yang justru mereduksi kualitas destinasi kita. Oleh karena itu, saya berpandangan bahwa bule yang berkelakuan buruk ini sebaiknya ditahan dan dideportasi dengan cepat. Selanjutnya perkuat announcement tentang do and don’t bagi wisman melalui front liner, seperti para guide, front desk accomodasi, driver, hingga pengelola objek dan destinasi,” tegasnya.
Untuk itu, Jaya Negara menyarankan agar perlu ada program penguatan behavior masyarakat penyangga destinasi untuk bisa berpartisipasi aktif dalam turut mengawasi perilaku wisatawan. “Selanjutnya tourism police segera ditugaskan di titik-titik destinasi untuk memantau wisman dan situasi keamanan destinasi berkolaborasi dengan Bankamda, Linmas dan pengamanan swakarsa lainnya. Jadi terkait perilaku nyeleneh bule ini, langkah mendesak adalah penjarakan mereka lalu segera di deportasi,” sarannya.
Pengamat Pariwisata yang juga akademisi Universitas Warmadewa (Unwar), Dr. I Made Suniastha Amerta, S.S., M.Par., juga menyayangkan kondisi pariwisata yang semrawut karena tata kelolanya masih jauh dari kata baik pasca pulihnya pariwisata Bali akibat pandemi Covid-19. Ini menjadi PR bagi pemangku kepentingan pariwisata Bali, bagaimana meningkatkan tata kelola pariwisata untuk menjaga kualitas pariwisata Bali agar tetap sustainable.
Pihaknya pun menyarankan untuk mengatasi perilaku wisman yang tidak sopan, cenderung arogan, dan tidak menghormati budaya lokal Bali dan untuk memastikan penguatan kualitas pariwisata Bali, maka dapat dilakukan beberapa langkah. Pertama, meningkatkan edukasi dan sosialisasi kepada wisatawan, baik melalui papan informasi, brosur, maupun media sosial, tentang norma dan budaya lokal Bali.
Hal ini dapat dilakukan dengan berkolaborasi bersama agen perjalanan dan maskapai penerbangan untuk menginformasikan kepada wisatawan tentang “Do’s and Don’t yang memuat perihal kewajiban dan larangan bagi wisman selama berada di Bali. Apalagi, imbauan itu tertuang dalam SE Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2023.
Kedua, penegakkan aturan dan sanksi yang tegas kepada wisatawan yang berperilaku tidak sopan dengan memberikan sanksi yang tegas, seperti denda sampai deportasi. Hal ini menuntut komitmen aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa aturan dan sanksi ditegakkan secara tegas dan konsisten.
Ketiga, meningkatkan kesadaran masyarakat lokal tentang pentingnya menjaga citra wisata Bali dan melaporkan kepada pihak berwenang jika mereka melihat wisatawan yang berperilaku tidak sopan serta membuat ulah di Bali. Keempat, mendorong pengembangan pariwisata berkualitas yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab terhadap alam dan budaya Bali, dengan fokus pada wisatawan yang berkualitas yang lebih menghargai budaya lokal dan lingkungan Bali. Hal ini perlu adanya screening awal saat calon wisman mengajukan visa kunjungan.
Sementara itu, Dinas Pariwisata Provinsi Bali mengatakan bahwa bule yang melanggar telah ditindak hukum sesuai dengan aturan yang dilanggar. Tindakan hukumnya disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan. “Sudah langsung ditangani pihak penegak hukum, seperti kepolisian, imigrasi, Pol PP,” ujar Kadispar Bali, Tjok Bagus Pemayun, Selasa (18/6).
Terkait tata kelola pariwisata yang dinilai masih semrawut, Dispar Bali akan terus berupaya memperbaikinya. Salah satunya menyosialisasikan Surat Edaran (SE) Nomor 04 Tahun 2023 tentang Tatanan Baru Bagi Wisatawan Asing Selama di Bali. Bahkan, koordinasi dengan anggota satgas tata kelola pariwisata selalu dilakukan agar lebih aktif menjalankan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. (Ketut Winata/balipost)