DENPASAR, BALIPOST.com – Masalah lingkungan dan sosial yang ditimbulkan dari pariwisata semakin membesar. Konsep Tri Hita Karana (THK) yang diusung pariwisata Bali, kini jauh panggang dari api.
Tata kelola pariwisata Bali tampak kian semrawut. Ini membuat sektor pariwisata Bali tak akan bertahan lama. “Jika THK tak dijaga maka pariwisata di Bali tidak akan bertahan lama,” kata Ketua Bali Vila Association (BVA), Putu Gede Hendrawan, Rabu (19/6).
Dia mengatakan, masifnya pembangunan vila di desa desa untuk pertumbuhan ekonomi dan geliat ekonomi di setiap wilayah di Bali ini memang bagus karena secara ekonomi menjadi berkembang. Hanya saja masalah sosial dan lingkungan tak terbendung.
Maka dari itu diharapkan mulai dari sekarang pemerintah memiliki blue print atau masterplan yang jelas dan tegas untuk arah pembangunan terutama yang di sektor pariwisata. “Saya rasa di setiap desa atau setiap tempat di Bali ini pasti menginginkan sektor pariwisata masuk ke wilayahnya. Sedangkan di sisi lain memang kita menginginkan pemerataan di sektor pariwisata ini. Jadi tidak hanya di Bali Selatan saja,” ungkapnya.
Dia ingin kue pariwisata merata setiap daerah atau wilayah di Bali dan mulai menggeliatkan sektor ekonominya. Menurutnya pemerintah kabupaten/kota diatur atau diarahkan oleh pemerintah provinsi agar memiliki blue print masing-masing. Dalam blue print yang dibuat nantinya agar sektor pertanian tidak tergerus oleh masifnya pembangunan yang mengatasnamakan sektor pariwisata.
“Karena pertanian, perkebunan dan penghijauan sangat diperlukan oleh sektor pariwisata sebagai satu lingkungan hidup yang akan memberikan keseimbangan daripada nuansa pariwisata Bali ini yang mana berbasis budaya, alam dan keseimbangan THK,” ujarnya.
Dia ingin tata kelola dari sektor pariwisata yang mana bersinggungan dengan tata kelola tata ruang hijau Bali harus bersinergi dan berdampingan agar tidak ada yang dirugikan atau dimatikan. “Saya harap tata ruang untuk sektor pertanian , perkebunan, lahan hijau ini tetap berdampingan atau berkesinambungan ke depannya karena pariwisata Bali kita ini tidak akan berjalan dengan baik jika tata ruang pertanian, tata ruang penghijauan itu dimatikan,” ujarnya.
Ia mendesak pemerintah menyikapi kondisi ini secepatnya dengan membuat blue print tata kelola pariwisata agar dibuat atau didesain sedemikian rupa sehingga semua sektor yang ada di Bali ini masih bisa tetap berjalan dan tidak dimatikan oleh hanya satu sektor. “Karena hal ini akan berbahaya ke depannya jika salah satu sektor atau dua sektor yang dimatikan oleh pariwisata. Memang sektor pariwisata masih menjadi kunci kesuksesan ekonomi yang ada di Bali ini tapi sektor lain juga sangat diperlukan. Tanpa sektor-sektor tersebut, saya rasa sektor pariwisata ini tidak akan berjalan baik dan akan ditinggalkan suatu saat nanti. Jadi kita harapkan semua sektor yang ada di Bali berjalan berdampingan dan bersinergi,” ujarnya.
Pemerintah diminta tegas mengelola wilayahnya, yang mana peruntukan untuk ruang hijau, mana yang boleh dibangun agar tidak menjadi masalah sosial atau lingkungan seperti banjir saat musim hujan dan masalah sosial lainnya. Selain itu, diharapkan tata kelola pariwisata tidak hanya menyinggung tentang bagaimana pariwisata yang berkualitas, wisatawan yang berkualitas, tapi tata kelola pariwisata ini juga menggandeng sektor lain sehingga bisa berjalan, bersinergi dan beriringan berdampingan serta saling menguntungkan satu sama lain. Dengan demikian konsep THK bisa diimplementasikan dengan baik di pulau Bali ini.
Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana Prof. Dr. Drs. I Putu Anom, M.Par., mengatakan, pembangunan vila-vila ke desa-desa ada nilai positif dan negatifnya. Positifnya, jika vila-vila tersebut dimiliki oleh masyarakat lokal dengan memanfaatkan lahan miliknya yang kurang produktif dan tidak memanfaatkan lahan yang subur serta tidak dengan cara alih fungsi lahan sawah, maka masyarakat lokal akan mendapat manfaat ekonomi.
Ke depan akan banyak wisatawan yang mencari ketenangan, nuansa alam yang masih lestari. Sehingga konsep wisata yang dibangun masyarakat lokal dengan memperhatikan kelestarian lingkungan serta mempertahankan tradisi dan budaya, dapat dibangun bersama dengan pemilik modal.
Sementara dampak negatifnya, jika vila-vila tersebut dibangun oleh investor luar dengan membeli lahan masyarakat lokal. Apalagi pembangunan dengan cara alih fungsi lahan pertanian yang subur tentu akan merusak alam pedesaan.
Menurutnya pemerintah perlu mengkaji ulang pengelolaan pariwisata Bali dan pembangunan Bali secara holistik di berbagai sektor baik pembangunan fisik dan non fisik. Karena ia melihat dalam dua dasa warsa terakhir, pemerintah dan masyarakat sudah tidak konsisten menjaga alam dan budaya Bali.
“Boleh dikatakan semakin semrawut Bali ini dengan kepadatan penduduk yang cepat meningkat, sudah seharusnya dikaji daya dukung Bali ini. Supaya tidak terjadi pembangunan yang kebablasan melewati ambang batas potensi yang dimiliki Bali. Masyarakat lokal Bali sebagai pendukung Budaya Bali semakin terpinggirkan di rumahnya sendiri,” ungkapnya.
Selain itu pemerintah perlu komitmen dan konsisten dalam implementasi kebijakan publik dengan semua stakeholder dan masyarakat lokal Bali untuk tetap menjaga alam dan budaya Bali dengan arif bijaksana.
“Kalau tata kelola pembangunan Bali tidak terarah dan semakin semrawut tentu sulit mewujudkan pembangunan termasuk pembangunan pariwisata berkelanjutan.Sudah saatnya kita tidak saja mengekspose jargon-jargon dengan kamuflase penyelamatan Bali tetapi harus diwujudkan secara riil supaya kita tidak disalahkan oleh generasi mendatang,” ujarnya. (Citta Maya/balipost)