Sejumlah perahu nelayan yang parkir di perairan Teluk Benoa, Bali. Privatisasi diduga sebagai pemicu nelayan tidak leluasa dalam menambatkan jungkung atau perahu di pinggir pantai, nelayan tidak leluasa menurunkan hasil tangkapan mereka di pinggir pantai. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Bali sarat beban. Wacana ini sudah mengemuka berulang kali. Namun, kini beban itu makin parah.

Penduduk Bali nyaris kehilangan rasa nyaman. Kemacetan, investasi rakus lahan, dan harga pangan mahal dikeluhkan. Belakangan wisatawan asing pun berulah di Bali.

Merespons tata kelola Bali yang terkesan makin tak terarah, Direktur Eksekutif Kajian Strategis Dharma (LKSD) Dr. Ir. I Wayan Jondra, M.Si. Rabu (26/6) menyampaikan, situasi Bali terkini. Akademisi ini terkesan mewakili keluhan sebagian besar krama Bali belakangan ini.

Jondra tegas mengatakan penduduk Bali kini nyaris kehilangan rasa nyaman dan aman hidup di Bali. “Masifnya ekspansi kapital pengusaha pariwisata dalam penguasaan sempadan pantai sudah dalam batas memprihatinkan. Hal itu memerlukan kontrol atau pengawasan dari kepala daerah dan DPRD. Jangan justru mereka melindungi investor dan merampas hal publik,” ujarnya.

Ketua Umum Paiketan Krama Bali ini mengatakan, praktik privatisasi telah terjadi di beberapa tempat oleh pihak pengusaha pariwisata ada di daerah. Ia menyebut Daerah Nusa Dua (khususnya kawasan ITDC), Seminyak, Kuta Selatan, Bukit Ungasan, Sanur, Canggu dan kawasan Candidasa kini memerlukan kehadiran pemimpin yang memahami hak-hak warganya atas kehadiran investasi.

Baca juga:  Bertambah di Atas 8.000 Kasus COVID-19 dalam Sehari, Ini Penjelasan Satgas Nasional

Menurutnya privatisasi oleh investor yang semakin marak terjadi di kawasan sempadan pantai pulau Bali patut diduga melumpuhkan kegunaan dan fungsi pantai sebagai kawasan publik. ‘’Ini menggusur nelayan dan melumpuhkan perekonomian mereka. Mereka kini tak nyaman di pesisir yang bertahun tahun menjadi sumber kehidupan mereka,’’ jelasnya.

Privatisasi diduga sebagai pemicu nelayan tidak leluasa dalam menambatkan jungkung atau perahu di pinggir pantai, nelayan tidak leluasa menurunkan hasil tangkapan mereka di pinggir pantai, mereka hanya diperbolehkan di tempat-tempat tertentu saja, nelayan juga tidak dapat melakukan transaksi perdagangan di pinggir pantai.

Jika nelayan sebagai salah satu elemen pengawal pesisir Bali tergusur, dikhawatirkan akan berdampak pada upaya-upaya menjaga ajeg bali. “Yang paling mengkhawatirkan adalah ancaman bagi Hindu dresta Bali, masyarakat Hindu di Bali sedikit demi sedikit kehilangan akses menuju pantai untuk ritual malasti, malukat, bermain, berolahraga dan aktivitas sosial lainnya,’’ ujarnya.

Akademisi Politeknik Negeri Bali ini mengatakan privatisasi sempadan pantai telah memberikan trauma tersendiri kepada masyarakat lokal, privatisasi tersebut telah merenggut hak dan kebebasan masyarakat untuk memperoleh manfaat dari sumber daya alam. Masyarakat adalah lapisan pertama yang merasakan dampak dari privatisasi sempadan pantai. Masyarakat lokal dijadikan sebagai penonton oleh

Baca juga:  Solar Bersubsidi Langka, Antrean Kendaraan Mengular

para investor sebagai pengusaha pariwisata. Masyarakat lokal tidak mendapatkan manfaat secara utuh dari sebuah pariwisata karena ruang gerak masyarakat lokal yang semakin terbatas di daerahnya sendiri, namun nampaknya  dibiarkan oleh aparat dalam hal ini Pol PP.

Pemerintah Daerah Provinsi Bali, Kabupaten/Kota se-Bali harus paham bahwa kepentingan umum dan masyarakat lokal harus didahulukan dibandingkan kepentingan pribadi atau pengusaha pariwisata. Keseimbangan aktivitas budaya akan memberikan bonus untuk keberlangsungan pariwisata. Jangan karena alasan eksklusif terus masyarakat diasingkan dari pantai.

Secara yuridis dan konstitusional Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 3 Ayat 3 menyebutkan bahwa tanah di Indonesia berada di bawah penguasaan negara sehingga negara memiliki kewenangan administratif. Kewenangan ini yang berfungsi sebagai penyalur tanah ke masyarakat berupa hak bangun, hak milik dan sebagainya.

Di Indonesia untuk memperoleh hak atas tanah menurut tata cara dan aturan yang ditentukan dengan undang-undang. Sempadan pantai telah ditentukan di Bali itu 100 meter dari muka air pasang tertinggi di darat.

Baca juga:  Dari Bupati Badung Larang Aliran Kepercayaan Manfaatkan Fasilitas Adat hingga Denpasar Masih Tambah Belasan Kasus COVID-19

Sempadan pantai ini banyak fungsinya Kenapa ditentukan 100 meter yang pertama sempadan pantai ini berfungsi untuk melestarikan ekosistem laut. Kedua sempadan pantai berfungsi untuk menjamin kehidupan masyarakat pesisir di sekitar pantai.

Ketiga sempadan pantai berfungsi untuk menjamin masyarakat untuk punya akses di pesisir pantai, baik itu untuk fungsi sosial adat budaya seperti malasti malukat dan lain sebagainya. Keempat simpanan pantai juga menjadi akses untuk air limbah. ‘’Jika sempadan pantai ini dicaplok oleh investor maka empat hal penting tersebut terabaikan sehingga akan mengancam kehidupan sosial budaya dan agama masyarakat Bali tentunya hal ini juga akan mengancam keberlangsungan pariwisata di Provinsi Bali. Jika keberlangsungan pariwisata ini terancam dan budaya Bali ini hancur,’’ tegasnya.

Terus apa yang mau dijual oleh investor? Pajak apa yang mau dipungut oleh pemerintah? Terus pendapatan apa yang akan didistribusikan kepada masyarakat? Hal ini akan memutuskan hak-hak masyarakat Bali. (Dira Arsana/balipost)

BAGIKAN