DENPASAR, BALIPOST.com – Andianto Nahak T. Moruk, Direktur PT. Bali Grace Efata yang bergerak dibidang konsultan perijinan, Kamis (27/6) menjadi saksi pertama yang memberikan keterangan di Pengadilan Tipikor Denpasar untuk terdakwa I Ketut Riana yang merupakan Bandesa Berawa.
Dalam kesaksiannya, dia mengaku kesal beberapa kali diminta Rp 10 miliar oleh terdakwa, padahal dia hanya menerima kontrak Rp 3,6 miliar dengan PT Bali Berawa Utama untuk mengurus izin Hotel Magnum. Saksi dihadapan majelis hakim yang diketuai Gede Putra Astawa menjelaskan, setelah menerima kontrak, saat mulai pekerjaan, untuk mengurus perizinan diawali sosialisasi. “Salah satunya kami awali dengan cek zonasi hingga sosialisasi dari bawah,” ucap Andianto.
Untuk sosialisasi, pertama saksi datang ke kelian untuk menyampaikan akan melakukan pembangunan di wilayahnya. “Tetapi kelian menyarankan untuk bertemu dulu ke bandesa,” ucap saksi.
Saat itu, dia diberikan nomor telepon oleh Putu Kumara Yasa dan saksi kemudian menghubungi terdakwa.
“Lalu ada permintaan Rp 10 miliar. Saya kaget karena nominalnya cukup besar. Saya sampaikan kontrak kami hanya Rp 3,6 miliar. Setelah sampaikan kontrak saya, beliau menyampaikan bagaimana supaya bisa dibijaksanai,” beber saksi dalam persidangan Pengadilan Tipikor Denpasar.
Atas permintaan itu, saksi sebut akan menyampaikan ke pihak perusahaan. Pertemuan berikutnya saksi menyampaikan kalau Rp 10 miliar tidak bisa. “Tetapi kalau sumbang sukarela saya bisa,” terang saksi.
Alhirnya dia (Bandesa Berawa) minta Rp50 juta dulu, dan dia serahkan di salah satu kedai kopi. “Ketika minta Rp 50 juta, saya sanggupi,” jelasnya.
Saksi menyebut terdakwa minta yang Rp 50 juta ini jangan disampaikan ke siapapun. Alasannya akan dipakai berobat oleh terdakwa.
Setelah memberikan Rp50 juta, ternyata Riana masih meminta agar Rp10 miliar dipenuhi. Andianto mengaku punya uang Rp 100 juta. Terdakwa bilang boleh. “Setelah setuju, dengan kesal saya kasih. Akhirnya besoknya diambil setelah saya ada urusan di Badung lalu ke Kodya (Denpasar). Saya akhirnya serahkan uang itu. Setelah menyerahkan uang, saya ditangkap dan saya sempat mengelak. Jro bendesa juga ditangkap,” tutur saksi sembari menyebut dua ponsel miliknya juga disita.
Saat ditanya apakah permintaan 10 miliar itu untuk pribadi, apa desa adat? Saksi menyebut untuk desa adat. “Katanya ada aturan, namun saat saya minta aturan tidak pernah ditunjukkan. Dia mintanya pastinya atas nama desa adat,” tegas Andianto.
Tetapi, lanjut saksi, bahwa saat permintaan Rp 10 miliar, terdakwa mengirim nonor rekening bank atas nama I Ketut Riana.
Atas keterangan Andianto, terdakwa Riana yang diberikan kesempatan menanggapi keterangan saksi membantah bahwa dia minta Rp 10 miliar. Namun sebaliknya malah dia ditawari oleh saksi.
Sedangkan saksi Made Budi Santosa yang mengaku orang kepercayaan owner dan juga sekaligus sebagai konsultan di Magnum, mengaku bahwa dia dapat informasi permintaan Rp 10 miliar dari Andianto.
Dia kemudian mengkomunikasikan dengan terdakwa, apakah bisa dikasih kebijaksanaan. “Bandesa menyatakan hasil parum Desa Adat tetap minta Rp 10 miliar. Saya sampaikan tidak mampu,” ucap saksi. (Miasa/balipost)