MANGUPURA, BALIPOST.com – Sejak 2020, Indonesia dalam situasi darurat penempatan ilegal dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Dengan kondisi darurat ini, negara harus hadir dan tak boleh kalah melawan sindikat dan mafia perdagangan orang dengan menegakan hukum secara revolutif. Demikian dikemukakan Kepala BP2MI Benny Ramdani, Rabu (27/6) di sela-sela Rakornas di Badung.
Ia mengatakan, hukum harus bekerja sehingga perang semesta yang dimaksud BP2MI bisa terlaksana.
“Revolutif itu engga setengah-setengah, engga nanggung, engga calo, engga hanya kaki tangan yang disikat tapi juga bandarnya, tekongnya,” ujarnya.
Hukum yang revolutif ini salah satu aspek yang digenjot. Ada tiga aspek lainnya, yakni sosialisasi yang masif, diseminasi informasi yang aktif, dan pencegahan yang progresif.
Benny mengutarakan masyarakat perlu mendapatkan edukasi bahwa hak bekerja termasuk bekerja ke luar negeri dijamin oleh konstitusi.
Tugas pemerintah adalah memfasilitasi dalam bentuk pelayanan yang cepat, murah bahkan biaya bisa ditanggung dengan KUR.
Kedua, masyarakat diedukasi agar tahu persis risiko jika berangkat tidak resmi seperti kekerasan fisik, seksual, gaji yang tidak dibayar, PHK secara sepihak, eksploitasi jam kerja hingga 20 jam.
Ketiga, pencegahan yang progresif. “Dengan kolaborasi dan sinergi kita sudah lihat tidak hanya TNI, Polri, semua dilakukan bersama sama,” ujarnya.
Ia bahkan berharap ada pemiskinan, penyitaan atas kekayaan bandar yang dihasilkan dari kejahatan perdagangan orang.
Ditambahkan, Ketua LPSK, Achmadi, pelindungan terhadap TPPO dan sindikat ilegal dimensinya sangat luas. Tidak hanya perlindungan hukum, fisik, peradilan tapi juga perlindungan medis, psikologis, psikososial dan hal itu perlu kolaborasi.
Sementara itu, Kepala Dinas Pekerjaan Provinsi Bali, IB Setiawan mengatakan yang menjadi tantangan dalam tata kelola pekerja migran Indonesia (PMI) adalah basis data. Sebab, Pemprov Bali maupun di 9 kabupaten/kota sudah membentuk reaksi cepat bersama BP3MI Bali. “Mendapatkan data awal dari desa setempat, dan tak berhenti melakukan sosialisasi dan edukasi,” ujarnya.
Penempatan PMI lebih banyak di Eropa dan Timur Tengah. Diakui memang terjadi gap yang lebar antara data yang terdaftar dengan PMI yang bekerja di luar negeri. “Disparitasnya memang sangat tinggi, secara nasional saja hampir 5,4 juta tahun 2017,” ungkapnya.
Sementara itu, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Dalil Bali, AA Gede Agung mengatakan, BP2MI bisa menjadi super body, karena PMI merupakan penyumbang terbesar kedua setelah migas. Menurutnya, untuk mencegah penempatan ilegal dan TPPO diperlukan pengurusan perizinan yang cukup diselesaikan di satu lembaga. “Ini akan membantu pencegahan ilegal dengan pengurusan izin yang murah, cepat, mudah sehingga tidak mudah disesatkan oleh sindikat,” ujarnya. (Citta Maya/balipost)