DENPASAR, BALIPOST.com – Devisa dari sektor pariwisata berbeda dengan devisa dari hasil sumber daya alam (SDA). Perolehan devisa SDA kontribusinya bisa langsung masuk ke kas negara dan kas daerah.
Sementara devisa pariwisata adalah uang (valuta) asing yang diterima oleh mereka yang bergerak atau berbisnis di industri pariwisata baik individu maupun badan usaha seperti guide, pedagang suvenir, art shop, restoran, hotel dan yang lainnya. Jadi devisa pariwisata tidak mungkin meminta dana bagi hasil (DBH) dari devisa pariwisata.
Demikian disampaikan Akademisi Undiknas Denpasar, Prof. Ida Bagus Raka Suardana, Selasa (25/6) menanggapi pernyataan anggota DPD RI Bali, Ngurah Ambara Putra, yang menuntut DBH dari devisa pariwisata yang diperkirakan per-tahun sekitar Rp180 triliun.
“Devisa dari pariwisata itu tidak serta merta langsung masuk menjadi penerimaan (kas) pemerintah, melainkan hanya berkontribusi ke dalam perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB) di tingkat nasional, atau PDRB di tingkat regional,” jelas ekonom Regional Chief Economist (RCE) BNI Wilayah 8 ini.
Devisa yang diterima oleh para pelaku pariwisata itulah yang kontribusinya besar menggerakkan ekonomi Bali. Uang itu berputar dan memberikan multiplier effect (efek pengganda) bagi perekonomian Bali. Pergerakan ekonomi itulah yang kemudian berkontribusi ke pemerintah, baik pusat maupun daerah dalam bentuk pajak.
“Lalu Bali akan minta DBH 2 persen dari Devisa pariwisata, kepada siapa memintanya? Jika diminta ke pemerintah pusat, bagaimana perhitungannya, sebab pusat memperoleh dari pajak biasa seperti PPH dan PPN. Kalau diminta kepada para pelaku pariwisata yang memperoleh devisa itu, tentu mereka akan keberatan,” tandas Dekan FEB Undiknas ini. (Citta Maya/balipost)