Oleh Sahadewa
Kenegaraan dilakukan dengan cara seksama untuk kepentingan ataupun kebutuhan bangsa dan negara dengan dasar kebenaran. Bukan sebaliknya dengan dasar kelicikan atau kejahatan apapun. Inilah yang sebenarnya sebagai cita-cita dari berdirinya bangsa serta negara ini. Kebenaran kenegaraan kita adalah sesuai dengan pembukaan UUD 1945 jika di luar itu maka bersiaplah untuk berganti negara. Berganti negara berarti berganti sistem kenegaraannya. Demikianpun dalam sistem berbangsanya.
Hukum lah yang menyertai itu namun belum tentu sebagai rohnya melainkan sebagai struktur yang menyertai adanya suatu negara sehingga dikenal adanya suatu tingkatan hukum yang pembukaan dalam konteks ini dijadikan sumber hukum konstitusi tertinggi karena ada sumber hukum tertinggi yaitu rumusan Pancasila di dalam alinea keempat dari Pembukaan UUD 1945. Inilah sebagai dasar utama dalam mengerti bersama tentang hukum kita. Oleh karena itu mari kita uji bersama.
Kenegaraan dan hukum kita diuji dalam berbagai kesempatan termasuk kemarin dalam Pemilu dengan prosesnya yang paling awal sekalipun. Disinilah kedewasaan dalam berkenegaraan telah diuji namun apakah sudah lulus ataupun tidak dikembalikan kepada bangsa ini. Kedewasaan yang dimaksud adalah pertama, kebenaran yang dijadikan patokan atas penyelenggaraan kenegaraan dengan dasar nilai dalam hukum dan kedua, kenegaraan yang dipalsukan dengan manipulasi hukum. Silahkan mau pilih yang mana? Inilah yang menjadi dasar penting untuk menghilangkan kenegaraan ataupun sebaliknya meneguhkan kenegaraan itu.
Kenegaraan dalam konstelasi politik dan hukum bahkan dengan ekonomi mesti dipadupadankan dalam sebuah koridor hukum yang komprehensif dan mendalam untuk bersama-sama membantu menyelesaikan persoalan bangsa plus berbagai bidang lain termasuk tentunya bidang kebudayaan dan religi. Kenyataan negara Pancasila dipertanyakan dari segi ini. Terutama dari segi kenegaraan dan hukum kita sehingga evaluasi yang dihasilkan berupa apa?
Pertama, keutamaan negara Pancasila hanya diambil ketika keuntungan dilihat dari konteks tertentu saja seperti pemenuhan kepentingan sepihak. Kedua, ini menandakan bahwa Pancasila masih dipakai sebagai senjata untuk memukul baik secara tidak terlihat termasuk juga jika memungkinkan yang terlihat. Lalu sepatutnya dan selayaknya bagaimana? Inilah coba dijelaskan dalam tulisan ini.
Negara Pancasila dimaksudkan adalah negara dengan dasar Pancasila sudah pasti yang dituju adalah nilai-nilainya. Nilai-nilai yang terdapat di dalam Pancasila itulah yang semestinya dijadikan sebagai tolok ukur dalam kenegaraan serta hukum. Inilah yang hendak dipecahkan dalam tulisan ini.
Pertama, jika memang kenegaraan sudah benar-benar berdasarkan kepada nilai-nilai Pancasila apa sejatinya yang menunjukkan itu dengan dasar bahwa hukum yang mengatur kenegaraan ternyata masih rentan adanya kemungkinan manipulasi. Inilah yang menjadikan semangat kenegaraan secara tidak langsung menjadi dilunturkan karena tidak sesuai dengan nilai-nilai kepancasilaan yang ada dalam Pancasila itu sendiri.
Pancasila mungkin masih sekedar dalam batas wacana ketika kenegaraan mengambil titik-titik krusial penyelenggaraan kenegaraan yang terkait langsung dan mempunyai hubungan langsung dengan kemasyarakatan. Masyarakat yang Pancasilais belum tentu dicerminkan oleh negara yang Pancasilais. Oleh karena itu, patut diduga jika masyarakat bisa tampak lelah ketika sudah melaksanakan Pancasila namun struktur kekuasaanlah yang justru tidak demikian.
Oleh karena itu, dapat diduga pula jika negara yang ternyata Pancasilais lebih besar kemungkinannya masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat yang Pancasilais pula. Bila antara negara dan masyarakatnya benar-benar Pancasilais pasti tidak terjadi pro dan kontra termasuk kemarin-kemarin tentang Pemilu dengan Mahkamah Konstitusi.
Apabila ini dicermati maka yang terjadi adalah pertama, keadaan kenegaraan yang lebih kondusif artinya kondusif di sini adalah seseorang yang berada di lingkungan kekuasaan justru lebih mengerti keadaan rakyatnya. Kedua, tidak cukup hanya lebih mengerti keadaan rakyat melainkan benar-benar menunjukkan dirinya dalam lingkup kekuasaan tidak menggunakan aji mumpung. Ketiga, keadaan rakyat yang sebenarnya menjadi cerminan dari keadaan kenegaraan yang langsung negara turun langsung untuk menjadikan rakyat sebagai tantangan pemecahan persoalan bukan sebagai ajang untuk mencari muka kepada rakyatnya sendiri karena rakyat yang keadaannya masih labil.
Untuk itu diperlukan perangkat hukum kenegaraan yang mencerminkan kemajuan dalam bidang hukum. Artinya tidak mandeg dengan persoalan yang terjadi menggunakan otak-atik hukum untuk kepentingan kekuasaan melainkan menjadikan hukum bukan sekedar panglima semata namun kesadaran masyarakat ditingkatkan dengan menunjuk kepada kemurnian hukum kita.
Kemurnian hukum artinya bahwa kenegaraan terlaksana secara objektif dengan dasar kebenaran kenyataan. Inilah yang patut diujikan kepada hukum kita dengan dasar kenyataan yang mendasar. Mendasarnya kenyataan dapat diperoleh berdasarkan ketentuan objektif dalam berpikir dan bertindak untuk merumuskan kenegaraan dalam hukum kita.
Penulis, Dosen Fakultas Filsafat UGM