DENPASAR, BALIPOST.com – Setelah setahun lebih dibukanya border internasional pascacovid-19, nyatanya kondisi ekonomi Bali tak semakin baik. Berbagai faktor eksternal dan internal semakin memperparah kondisi ekonomi. Pengusaha minta restrukturisasi kredit diperpanjang.
Dampak nyatanya terlihat dari pelemahan Rupiah yang terus terjadi. Selain itu kondisi ini akan berdampak negatif terhadap potensi arus modal asing yang bisa masuk ke pasar modal Indonesia.
Sementara berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), mencatat jumlah investor pasar modal Indonesia sudah lampaui 13 juta single investor identification (SID) dengan pertumbuhan lebih dari 863 ribu SID baru di sepanjang tahun 2024. Sementara itu jumlah investor saham Indonesia telah mencapai 5,7 juta SID.
Community Lead Indo Premier Sekuritas (IPOT) Angga Septianus mengatakan, ada sentimen cukup menarik yang masih akan memengaruhi market (pasar modal Indonesia) dalam beberapa minggu ke depan yakni sentimen potensi perpanjangan restrukturisasi kredit Covid-19.
Diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengusulkan kebijakan restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 yang seharusnya selesai pada Maret 2024 diperpanjang hingga 2025.
OJK mengatakan sebelum pengambilan keputusan pencabutan program restrukturisasi Maret kemarin telah melakukan serangkaian penghitungan dari segi kecukupan modal hingga Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN).
Pihaknya juga mengawal dan memperhatikan agar kebijakan ini tidak mengganggu likuiditas dan kapasitas pertumbuhan kredit. “Jika jadi diterapkan perpanjangannya, ini bisa menjadi katalis positif untuk sektor perbankan,” tandas Angga.
Kepala OJK Provinsi Bali, Kristrianti Puji Rahayu, Senin (1/7) mengatakan, sampai saat ini belum ada info terkait kebijakan perpanjangan restrukturisasi kredit seperti Keputusan Dewan Komisioner (KDK) 34. “Setidaknya di level KO daerah belum ada,” tandasnya.
Menurutnya, perpanjangan restrukturisasi kredit secara normal berdasarkan POJK 40 telah dilakukan namun sifatnya hubungan masing-masing antara debitur dengan banknya.
Pengusaha senior Panudiana Kuhn menilai memang kondisi ekonomi pengusaha tak terlalu baik. Menurutnya turis banyak datang tapi yang murah sehingga dampak ekonominya tidak terlalu besar bagi pengusaha.
“Maunya pengusaha itu kreditnya dihapus karena ada masalah. UKM juga selama pandemi kesulitan uang. Sekarang ini walaupun dikatakan jalannya sudah macet tapi juga masalah karena jualannya murah- murah di Bali itu, sehingga yang punya utang banyak belum bisa melunasi utangnya. Maka perlu direstrukturisasi,” bebernya.
Menurutnya penghapusan utang pernah terjadi saat kasus BLBI dan krisis, maka bukan tidak mungkin saat ini bisa juga dilakukan. “Karena banyak perusahaan mau disita bank, ada pabrik, hotel ada, ada yang sudah di-PKPU-kan,” ungkapnya.
Di Bali pun menurutnya banyak pengusaha yang bermasalah dengan keuangan terutama hotel-hotel kecil dan usaha kecil. “Utang belum lunas, recovery ekonomi dan usaha juga sebenarnya belum menutup kerugian selama pandemi,” ujarnya.
Meski demikian, ada juga pengusaha di Bali yang maju pesat sedangkan yang lain dikatakan masih klepek-klepek. Sehingga ia menilai restrukturisasi kredit perlu diberikan lagi agar pengusaha bisa “bernapas” agar dapat berkembang dengan baik. (Citta Maya/balipost)