Oleh Marjono
Bulan di Atas Kuburan. Ini adalah judul film 2015 merupakan produksi ulang dari judul sama, yang pernah dirilis pada tahun 1973. Film garapan sutradara Edo WF Sitanggang menampilkan isu utama tentang urbanisasi.
Karya sinema ini terinspirasi dari puisi ‘Malam Lebaran’ karya Sitor Situmorang. Menceritakan tiga sahabat asal Samosir, Sumatera Utara, Sahat), Tigor (Donny Alamsyah) dan Sabar (Tio Pakusadewo) yang mengejar mimpi ke ibu kota, Jakarta. Tapi ternyata, Jakarta tidak memberikan apa yang mereka impikan dahulu.
Bagaimana orang desa berharap banyak dengan kota besar, padahal kota besar itu tidak pernah menjanjikan apa-apa selain rasa sakit. Jika sekadar mengantre nasib ke kota, secara regular tahunan kita bisa menyaksikan dengan mata telanjang kita.
Gelombang itu muncul, kalau boleh jujur, karena desa belum mampu memberikan garansi kesejahteraan bagi warganya. Pemicu lainnya, yakni absen bahkan nihilnya skill anak muda desa membuat dia gampang terbujuk rayuan gemerlap kota.
Itulah mengapa, dana desa bukanlah dana sapu jagat yang mampu menyelesaikan problema secara serentak, sementara desa masih banyak bergantung penganggaran dari pemerintah pusat.
Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan, tak kurang 60 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan pada 2025. Persentase tersebut diprediksi terus meningkat menjadi 63,4 persen pada 2030 dan 66,6 persen pada 2035. Sejalan dengan itu, Bank Dunia juga memprediksi sebanyak 220 juta penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan pada 2045. Jumlah itu setara dengan 70 persen dari total populasi di tanah air.
Potensi Desa
Sejak sangat awal, pemerintah maupun pemda hingga pemerintah desa terus berikhtiar mencegah laju arus warga desa yang lari ke kota. Beberapa hal bisa ditempuh dengan membangun pusat-pusat pertumbuhan, kemakmuran dan kesejahteraan di seluruh pedesaan.
Tak kurang 74.961 desa di negeri ini penting kita bangkitkan, berdayakan dan kita intensifkan dengan sepenuh penyadaran, bahwa desa itu bisa memakmurkan dapat menyejahterakan ketika masyarakat kita berdayakan dan kelola secara profesional.
Maka kemudian, di sini butuh pendamping, invensi maupun inovator desa. Membangun Indonesia dari pinggiran (desa) telah diamanatkan dalam UU 6/2014
tentang Desa. Membuka lapangan kerja baru di desa, misalnya membangun destinasi wisata di desa yang dilengkapi aneka produk industri kreatif.
Ada cindera mata, kuliner dan praktik live in desa. Hal
ini sekurangnya dapat mengerem keinginan kaum muda berbondong-bondong ke kota. Tak ada salahnya juga, di desa kita datangkan para best practice, sehingga warga desa, terutama kaum muda mendapat pengalaman, ilmu dan input langsung dari praktisi.
Selain itu, para empunya success story ini diminta menjadi bapak angkat atau mendampingi proyek produktif desa, sehingga ketika terbentur kendala dan hambatan lainnya bisa segera kita dapatkan solusinya. Misalnya pendampingan petani kala krisis air untuk merawat panen bisa optimal.
Jalan lain yang bisa ditempuh, yaitu pemerintah atau lembaga donasi memberikan pilot proyek usaha ekonomi yang bisa dikelola desa, dengan memanfaatkan potensi SDA, SDM maupun teknologi desa bahkan pasar yang tak ditolak segmen setingkat desa. Bisa saja pemda memulai pilot proyek pembibitan tanaman, atau membuat usaha percontohan pupuk organik yang bisa dikelola lewat ekonomi sirkular atau semacam integrated farming di desa.
Itulah kemudian, melalui tulisan singkat ini saya mengajak dan menggugah semua pihak untuk memikirkan, memberi perhatian dan berbuat nyata bagi desa. Suka tak suka, kita juga bisa belajar banyak dan berterima kasih kepada para crazy rich yang berasal dari desa, meski sekarang mereka tinggal di kota, bahkan para diaspora.
Kita bisa belajar pada crazy rich Joko Suranto dari Grobogan Jawa Tengah yang telah berhasil membangun infrastruktur jalan desa senilai Rp2,8 miliar. Kita pun bisa bercermin pada kiprah crazy rich Rio Nur Desnanto dari Karanganyar ini men-mgucurkan dana segar lebih dari Rp1/2 miliar atau persisnya Rp600 juta untuk mengaspal jalan rusak di Colomadu.
Tak sedikit crazy rich lainnya di negeri ini yang telah, sedang dan akan terus membangun desanya. Jadi ketika pulang kampung/mudik lebaran jangan hanya pamer kekayaan (flexing).
Penulis, ASN Bapenda Provinsi Jawa Tengah