Wisatawan mancanegara berkeliling area Pura Taman Ayun di Desa Mengwi, Badung, Bali, Selasa (25/6/2024). Sejumlah konglomerat dunia akan diundang mengelola investasinya di Bali melalui program Familly Office (FO). (BP/Antara)

DENPASAR, BALIPOST.com – Sejumlah konglomerat dunia akan diundang mengelola investasinya di Bali melalui program Familly Office (FO). Wacana yang diusulkan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut B. Pandjaitan ini bertujuan meningkatkan investasi tidak hanya di Bali tapi juga Indonesia.

Namun demikian, program ini bisa menjadi musibah karena akan menambah beban terutama di Bali jika investasinya dilakukan secara sembarangan, tak sesuai kebutuhan dan tidak merata.

Terkait FO, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan sudah ada beberapa konglomerat asing yang berminat mendaftar program ini di Bali.
“Sudah ada beberapa nama, mungkin dalam dua tiga minggu ke depan, kalau sudah makin ada bentuknya,
kami akan beri tahu,” kata Luhut di sela peluncuran
neraca sumber daya kelautan di Denpasar, Bali, Jumat
(5/7).

Selain di Bali, Luhut mengungkapkan konsep tersebut dapat diterapkan di lokasi lain, misalnya di Jakarta atau
di Ibu Kota Nusantara (IKN). “Kami akan melihat seperti di Dubai, ada satu gedung itu berisi 400 family office
dan itu angkanya bisa triliun dolar. Pertanyaannya, kalau
bisa di Dubai, Singapura, dan Hongkong, kenapa tidak
di Indonesia, di Bali, Jakarta atau IKN,” katanya

Baca juga:  Jaga Toleransi Beragama, Bank Lestari Bali (BPR) Berikan Bantuan Hewan Kurban

Ketua BTB IB Agung Partha Adnyana menilai, rencana Luhut menjadikan Bali sebagai Family Office bagus
untuk menaikkan branding, terutama pariwisata Bali asal tidak dibebankan pajak. “Buat nge-branding saja, untuk menarik orang orang berwisata ke Bali juga seperti Monako melakukan hal seperti itu. Peluangnya branding awareness, secara brand menarik, turis berkualitas,” ujarnya.

Ia pun melihat penerapan family office di negara lain
cukup bagus seperti di Singapura dan Monako. Menurutnya, investor yang tertarik dengan investasi di Bali yaitu Amerika dan Eropa Timur.

Pengamat pariwisata I Made Sulasa Jaya, Kamis
(4/7) mengatakan FO berdampak positif pada peningkatan investasi, lapangan pekerjaan dan transfer teknologi. Hanya saja menurutnya, perlu juga diwaspadai dampak negatifnya.

Seperti diketahui, Bali khususnya, saat ini tengah
bergulat dengan investasi pariwisata yang masif namun
tak merata. Hal itu berdampak terhadap lingkungan dan
tatanan sosial kehidupan masyarakat Bali.

Baca juga:  796 Ribu AgenBRILink Siap Layani Kebutuhan Perbankan Selama Libur Lebaran

Kewaspadaan atas keberadaan FO Bali, menurut Sulasa adalah jika investasinya tidak sesuai dengan kebutuhan dan konsep Pembangunan Bali serta pariwisata Bali. Hal ini tentu akan menambah beban Bali.

Selain itu akan tumbuh perbedaan perlakuan lebih istimewa kepada investor tersebut, sebagai raja-raja kecil dan akan semakin menekan pengusaha lokal/investor lokal. “Kalau investasinya sembarangan akan menambah beban Bali,” katanya.

Meski demikian ia tak yakin family office akan mampu menarik orang-orang kaya di dunia untuk berinvestasi di Indonesia. Karena menurutnya, syarat utama family office adalah tingkat kepercayaan kepada pemerintah Indonesia, untuk menaruh dananya dalam jangka panjang di Indonesia mengingat regulasi di Indonesia yang berubah-ubah serta gagalnya memberantas korupsi di Indonesia, seperti yang sempat disampaikan KPK.

Akselerasi Investasi

Sementara itu, Ketua Umum Hipmi Bali Agung Bagus Pratiksa Linggih menilai kehadiran FO dapat mengakselerasi capaian investasi jangka panjang di Indonesia. Menurut dia, orang kaya dari luar negeri
dapat mengarahkan dananya ke dalam sejumlah instrumen investasi baik di Bali yang rencananya menjadi pusat badan swasta itu maupun sejumlah daerah di tanah air.

Baca juga:  OTG Meninggal, Sebelum Dikubur Diambil Swab 

Pratiksa Linggih mengungkapkan, meski tanpa pajak namun aliran dana asing dari konglomerat melalui manajemen investasi di family office itu akan beredar
di Bali yang berdampak terhadap geliat ekonomi daerah.

Selain itu, lanjut dia, pemerintah juga berpotensi meraup pendapatan secara tidak langsung yakni uang yang
mengendap di tanah air dapat ditanamkan pada instrumen obligasi atau surat berharga Indonesia baik dalam bentuk rupiah ataupun valuta asing. Dana investor dapat diarahkan untuk industri prioritas pemerintah.

“Dari investasi itu mereka mendapatkan keuntungan dan dari keuntungan itu baru kemudian kena pajak,” imbuhnya.

Pengusaha muda itu mengharapkan aparat penegak hukum dapat berpartisipasi untuk memastikan keamanan sumber dana untuk menghindari praktik
kejahatan misalnya pencucian uang. Ia pun menantikan adanya regulasi untuk mengatur konsep baru investasi
yang memberi ruang kepada orang kaya dunia membawa uangnya di Indonesia.

“Kita harus berpikiran terbuka tentu ini membutuhkan regulasi karena bentuk badan usaha family office itu belum ada, ini harus level undang-undang,” ujarnya. (Citta Maya/kmb/balipost)

BAGIKAN