DENPASAR, BALIPOST.com – Bali saat ini kerap disebut overtourism. Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati meminta agar Bali tak disebut demikian.
Alasannya, sebutan overtourism bisa berdampak pada pengalihan wisatawan yang ingin ke Bali. Ia menilai yang terjadi saat ini adalah belum meratanya sebaran wistawan ke seluruh Bali.
Pembangunan infrastruktur seperti Pelabuhan Sanur-Nusa Penida, begitu juga shortcut diharapkan jadi instrumen pemerataan. “Kita belum overtourism, bahwa ada hotel yang okupansinya lebih dari 80 persen, memang betul. Hotel-hotel khususnya yang dipakai oleh K/L (Kementerian/Lembaga) di Jakarta, betul. Hotel di Nusa Dua okupansinya 80 persen, betul. Tapi tidak semua seperti itu. Jangan terlalu cepat mengatakan kita sudah overtourism,” ujarnya.
Dibukanya Nusa Penida dengan infrastruktur yang sangat memadai yaitu Pelabuhan Sanur, Nusa penida yang dulu dikunjungi 3.500 – 4.000 wisatawan sekarang sudah meningkat sampai 8.000. “Tapi tetap ada penumpukan wisatawan di selatan lagi, baik penumpukan transportasi maupun penumpukan orangnya di Selatan lagi,” ujarnya.
Maka dari itu menurutnya perlu kebijakan strategis, cara mendistribusi wisatawan jangan sampai isu overtourism mengalihkan wisatawan yang seharusnya ke Bali ke tempat lain.
Ia juga mengatakan banyaknya wisatawan berulah di Bali bukan gejala overtourism. Juga bukan karena kebijakan Work from Bali (WFB) yang pernah dilakukan saat Pandemi COVID-19. “Pada saat COVID, kita memang lagi krisis wisatawan, maka ada kebijakan yang sangat relevan pada waktu itu yaitu WFB, dengan harapan mereka mengelola perusahaannya dari Bali, dengan sistem computerize, jaringan yang sudah sangat bagus, sedangkan perusahaannya ada di luar negeri,” tutur pria yang akrab disapa Cok Ace ini.
Dengan bekerja dari Bali, minimal hotel, vila, homestay, transportasi laku. Namun, yang terjadi saat ini menyimpang dari apa yang dimimpikan dulu. “Mereka bekerja dari Bali bukan saja untuk usaha di luar negeri, tapi mereka bekerja mengambil pekerjaan kita di Bali. Kalau pekerjaan kita tidak mampu ambil, mereka ambil masih oke tapi semua pekerjaan yang bisa kita ambil,
mereka ambil juga. Ngojek, pedagang kaki lima. Ini yang justru bukan menguntungkan tapi merugikan dan bersaing dengan masyarakat kita, mungkin ini yang segera harus dievaluasi,” sarannya.
Selain itu, wisatawan berulah dan kasus-kasus yang terjadi di Bali berkaitan dengan wisatawan bukan juga karena VoA. Menurutnya VoA dari dulu telah diterapkan namun dulu tidak ada masalah.
Seharusnya wisatawan yang masuk ke Bali telah dilihat track recordnya dengan melihat paspornya. “Begitu paspornya masuk, kita sudah tahu,” imbuhnya.
Bahkan kualitas wisatawan yang dapat dijaring dengan pembayaran pungutan wisatawan asing (PWA) USD10 juga belum terlihat dampaknya. Kalaupun PWA dinaikkan, ia sendiri mengaku ragu dengan
hasilnya.
“Jangankan dinaikkan, yang sekarang saja belum berjalan dengan baik. Jadi belum berjalan baik dilihat dari dua sisi, wisatawannya yang memang tidak mau membayar atau memang sistem kita yang belum baik. Jadi ini perbaiki dulu, tahun ini anggap saja uji coba dulu, setelah itu baru naikkan tarifnya, dan efektifkan dulu uang yang ada. Kita terlanjur berjanji pada wisatawan bahwa uang ini untuk perawatan budaya, lingkungan dan sebagainya. Bagaimana kita bisa naikkan kalau kita belum tunjukkan pada wisatawan uangnya untuk perbaikan,” bebernya. (Citta Maya/balipost)