Gede Pasek Suardika. (BP/Dokumen Antara)

DENPASAR, BALIPOST.com – Dugaan adanya sejumlah warga negara asing (WNA) memiliki tanah di Bali menjadi sorotan banyak pihak. Dikhawatirkan kepemilikan ini menyebabkan aset warga Bali menyusut.

Secara hukum, WNA belum diizinkan memiliki tanah secara langsung di Indonesia. Namun, mereka dapat memperoleh tanah melalui perjanjian sewa guna usaha atau membentuk badan hukum bermitra dengan orang Indonesia.

Berdasarkan Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Perolehan Harga Rumah Tempat Tinggal/Hunian untuk Orang Asing, harga minimal hunian yang bisa dibeli oleh WNA di Provinsi Bali senilai Rp5 miliar. Harga minimal rumah susun (rusun) di Bali Rp2 miliar.

Menurut praktisi hukum, I Gede Pasek Suardika, Senin (8/7), investasi di Bali sangat dibutuhkan, namun regulasinya harus jelas. Masalah lahan di Bali tidak hanya jual-beli saja. Sebab urusan tanah ini harus dilihat dari banyak perspektif.

Salah satunya perspektif ekonomi. Semakin banyak orang asing tertarik dengan Bali, berarti semakin banyak investasi masuk Bali.

Secara ekonomi, investasi akan menggerakkan Bali. Di sisi lain, kata mantan Ketua Komisi III DPR RI itu, jika salah mengelola lahan, orang Bali sendiri yang akan pindah tempat karena sudah tidak punya lahan.

Karenanya, perlu formula yang sekiranya investasi yang kuat masuk Bali, tapi tidak mencabut akar atau pondasi orang Bali itu sendiri. “Caranya, salah satunya dengan sewa. Kedua bisa dengan usaha bersama,” jelas Pasek.

Dalam posisi seperti ini, orang Bali mesti punya pengetahuan yang lebih dalam hal pengelolaan. Jika orang asing punya modal, mereka yang membangun, sedangkan orang lokal yang menyediakan lahan dan itu bisa menjadi kepemilikan bersama.

Baca juga:  Mapepada Segara Kertih di Pura Segara Amed

Misalnya, lahan 10 are bisa dibuat tujuh vila. “Nah jika ini disewakan, kan orang Bali juga jadi pengusaha. Problemnya orang Bali malas karena menganggap ribet dan tidak punya jaringan ke luar negeri. Akhirnya ada orang asing datang dikasih sewa, dan si pemilik hanya terima bersih saja dengan status sewa,” ujarnya.

Kasus yang terjadi bahwa setelah orang asing ini menyewa, dia sewakan lagi pada orang lain. Penyewa berikutnya bisa sewa harian, mingguan, bulanan bahkan tahunan. Artinya di atas sewa, ada yang menyewa kembali. Ini yang sekarang masif terjadi di Bali.

Pihak yang diuntungkan adalah WNA karena kita tidak dapat pajaknya. Kedua posisi mereka di luar negeri sehingga transaksi di luar negeri dan biasanya itu dilakukan secara online.  Sehingga, menurut Pasek, perlu adanya kebijakan untuk mendapatkan pajak.

Dia melihat kebocoran pajak hotel dan restoran dan vila sangat besar. Karena tidak diketahui berapa banyak yang menginap, kecuali yang terorganisir bisa dikenakan pajak. “Yang tidak, kita tidak bisa melacak. Maka polanya bisa saja dilakukan dengan sistem sepeda “peneng”. Mereka pemilik vila bayar pajak dulu setahun. Pemerintah bisa membuat aturan untuk mengenakan pajak vila dengan sistem peneng itu. Isi dan tidak isi vila itu, dikenakan saja sekian rupiah,” sebut dia.

Ditambahkannya, pemerintah harus hadir menjembatani daripada semua diambil orang asing. Apalagi saat ini rupiah melemah. “Tanah-tanah gersang, tanah tidak produktif pasti diburu investor asing. Mirisnya, nanti bisa disewakan atau dioper lagi kembali oleh orang asing itu,” ungkapnya.

Baca juga:  Dari Hari Ini Bali Laporkan Nihil Kasus Meninggal hingga Cuma 23 Negara Ini Dibuka Bagi PMI

Menurutnya, itu yang harus ditata. Tidak hanya berpikir tax tourism saja. Tetapi investasi tanah ini, bagaimana jika mengurus vila sudah mulai terdeteksi ada berapa vila dan kembali ke pola pajak “peneng” sepeda bayar pajak setahun.

Begitu juga dengan apartemen. Menurut Pasek, mereka mainnya di kamar, bukan lahan. Ini rata-rata orang asing sewanya puluhan tahun dan dioper lagi ke orang asing.

Orang asing ini menjadi marketing di luar negeri. “Kalau pemerintah mau lacak itu gampang. Mereka orang asing bisa sewakan kamar sampai 30 tahun. Ini kan kita bisa sebut usaha tanpa izin. Mestinya mereka bisa dipajaki. Kita melihat kok fenomena ini karena mereka jualnya secara online,” tegas Pasek.

Dia mengatakan menghadapi itu, pemerintah juga harus punya ilmu searching, ilmu mencari atau melacak lalu dibuatkan aturan. “Pola peneng sepeda harus dilakukan. One vila one tax misalnya. Itu bisa dilihat dari fasilitas dan besaran vila,” saran GPS.

Satgas Penyelamat Aset

Di sisi lain, Pasek mengakui adanya problem yang terjadi saat ini, baik terkait penyewaan lahan, penguasaan dan lainnya yang merugikan masyarakat Bali. Termasuk keuangan Pemprov Bali mengalami defisit anggaran.

Menurut mantan anggota DPR RI yang membidangi hukum tersebut, Pemprov Bali mesti mengambil langkah. Salah satunya membuat Satgas Tindak Pidana Pencucian Aset atau lahan khusus tanah Pemprov Bali.

Baca juga:  Saat Aksi May Day, Serikat Pekerja di Bali Soroti Sektor Pariwisata

Karena dia melihat juga ada tanah negara yang disewakan ke pihak asing. “Sepuluh tahun terakhir saja dilakukan dan dilacak, defisit anggaran Pemprov Bali itu sudah ditutupi,” jelasnya.

Satgas ini, lanjut dia, pasti menemukan karena aset ini benda mati. Lahannya jelas, siapa mengelolanya pasti ketemu orangnya.

Pengalihan lahan pemprov ke pihak lain, dinilainya sama dengan membohongi rakyat Bali. Satgas mestinya turun tangan setelah dibentuk, mereka disuruh membayar sesuai pemegang sewa terakhir.

Praktisi hukum lainnya, Gde Manik Yogiartha, S.H., M.H., juga mengakui saat ini banyak kepemilikan lahan oleh WNA yang didasari dengan akta sewa menyewa dalam jangka waktu tertentu. WNA saat ini banyak berinvestasi di Bali dengan cara memiliki PT PMA (Penanaman Modal Asing) secara resmi agar dapat melakukan investasi yang legal dan bisa memiliki Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS).

Dokumen ini digunakan sebagai landasan mengajukan hak pakai untuk sebuah lahan yang akan digunakan untuk bisnisnya sesuai dengan Pasal 42 b (UU PA) yang dapat mempunyai hak pakai adalah orang asing yang berkedudukan di Indonesia. Namun demikian, dia melihat ada juga kasus yang melibatkan aset tanah sampai tersandung kasus hukum hingga perkara masuk pengadilan. “Seringkali yang menjadi permasalahan adalah masa sewa dan uang sewa yang telah disepakati oleh pemilik lahan dengan si penyewa WNA. Biasanya permasalahan antara WNA terkait kepemilikan saham terkait PT PMA setelah bisnis tersebut berjalan,” tutup Gde Manik. (Miasa/balipost)

BAGIKAN