Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Tidak dapat dipungkiri, pengetahuan dan pemahaman umat Hindu kebanyakan tentang isi kitab-kitab suci, terutama Weda relatif jauh dari memadai. Apalagi sebagian besar praktik keagamaan umat Hindu lebih dominan bergeliat di tataran ritual.

Sehingga terabaikan tentang pentingnya peningkatan intelektual umat melalui proses pembelajaran guna mengetahui, mengerti dan memahami kandungan isi kitab-kitab suci. Adapun penyebab utamanya tiada lain masih kuatnya pengaruh adagium “gugon tuwon anak mulo keto”, yang seakan mendoktrin umat untuk tidak perlu belajar Weda atau pustaka suci lainnya.

Umat cukup menggugu lalu meniru apapun ajaran atau tuntunan yang selama ini sudah diwariskan sejak dulu. Umat tinggal melaksanakan saja tanpa perlu mempelajari, mendalami, mempertanyakan apalagi memperdebatkannya. Ditambah lagi dengan adanya piteket “aja wera”, yang secara psikologis menjadi semacam halangan atau hambatan bagi umat untuk mencoba “mengakrabi” kitab suci, mulai dari Weda dan
turunannya hingga teks-teks lontar yang menjadi
pedoman penting bagi umat Hindu, khususnya di Bali.

Baca juga:  Saraswati, Begini Pengaturan Sembahyang di Pura Jagadnatha

Disebut hambatan psikologis, lantaran aja wera dianggap sebagai bentuk “larangan”, jangankan membaca, apalagi mendalami, hanya untuk menurunkan dan kemudian membuka keropak penyimpanan lontar saja tidak dibolehkan. Alasannya keberadaan tinggalan pustaka suci leluhur itu sudah bernilai sakral bahkan bersifat gaib, bernilai magi dan dikeramatkan (tenget).

Tidak boleh sembarangan diturunkan, kecuali misalnya saat akan dibantenin ketika pelaksanaan hari suci Saraswati. Akibatnya, banyak pustaka dimaksud, terlebih karena tiadanya perawatan, justru keduluan “dibaca” rayap (ngetnget), hingga kondisinya lapuk, rusak bahkan hancur lantaran daun lontarnya sudah dimakan usia. Belum lagi ketika piodalan Sanghyang Aji Saraswati, ada juga semacam “peringatan”, dimana umat tidak dibolehkan melakukan kegiatan membaca (sing dadi maca).

Semakin menjauhlah niat dan semangat umat untuk “mengakarabi” pustaka-pustaka suci yang sebenarnya merupakan pedoman, pegangan dan tuntunan hidupnya. Akhirnya, kandungan multi ajaran dengan beragam nilai luhur yang tersurat pada kitab/pustaka suci harus sirna hilang ditelan zaman, hanya karena begitu kuatnya tingkat ketaatan, tepatnya ketakutan umat pada kata “aja wera”.

Baca juga:  Hidup Berdamai dengan Krisis

Padahal penggalan Sarasamuscaya, sloka 177 dengan jelas menyatakan: “nihan pajara mami, phala sang
hnyang wedan inaji……”, inilah yang hendak saya beritahukan, bahwa guna kitab (suci) weda itu adalah untuk dipelajari. Kitab Vayu Purana I. 201 pun menambahkan, Sanghyang Weda itu dikatakan takut dengan orang bodoh (apan sanghyang Veda) takut tinukul olih akidik ajinia), oleh karena itu untuk menyempurnakan ilmu tentang Weda sebaiknya pelajari dan kuasai dulu itihasa dan purana (nihan paripurnekena kenaikang sang hyang Veda, Makasadaniti hasa kelawansanghyang purana).

Lebih tegas lagi, kitab Brahma Sutra, I.1.3 menyuratkan: Sastrayonitwat”: hanya kitab suci cara baik untuk mengenal (kebenaran) Tuhan. Sambung kitab suci Bhagawadgita, XVI.24: “biarlah kitab-kitab suci itu menjadi petunjukmu untuk menentukan kebenaran, untuk menentukan baik buruknya perbuatan, supaya diketahui dari pernyataan aturan dalam ajaran-ajaran kitab suci untuk engkau kerjakan”.

Lalu apa yang mesti dilakukan umat agar tidak terus menerus terkungkung gugon tuwon anak mula keto plus aja wera. Mulailah “Ngaweda”, bukan dalam arti seperti seorang Pandita/Sulinggih dengan kemampuan melafalkan (nguncarang) mantra-mantra suci saat memimpin upara yadnya, melainkan dengan rajin, rutin dan disiplin “malajahang raga”, sebagimana diamanatkan sloka Bhagawadgita, IV.34 : “Pelajarilah itu dengan sujud, disiplin, dengan bertanya dan kerja
berbakti, orang yang berilmu mereka melihat
kebenaran akan mengajarkan kepadamu pengetahuan itu”.

Baca juga:  Pertanian Perkotaan Futuristik

Oleh karenanya, serangkaian pelaksanaan Piodalan Saraswati pada Saniscara Umanis Watugunung (13/7), amanat yang patut dijalankan, hendaknya umat Hindu, yang kini sudah berada di tengah kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi plus informasi dan komunikasi berbasis digitalisasi, tidak lagi hanya fokus melakukan ritual sesaji “mantenin” buku pelajaran.

Tetapi mulai beranjak untuk dengan serius menjadikan kitab suci Weda, dan turunannya beserta pustaka lain seperti lontar sebagai bahan malajahang raga (pembelajaran diri) untuk kemudian diangkat kandungan ajaran dan nilainya, lanjut diaplikasikan sebagai pedoman pegangan/tuntunan hidup keseharian.

Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN