Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Mendengar kata pagar, ingatan terbayang pada pagar rumah sebagai tembok pengaman, Pura dengan panyengkernya, atau objek lain yang perlu dilindungi dan diamankan dari segala macam gangguan. Terutama dari hal-hal yang bersifat sakala.

Lalu apa itu “Pagar Diri-Pageh Hati”, tiada lain upaya memagari diri, tidak saja terkait urusan sakala (fisikal dan material), tetapi juga berhubungan dengan relasi sosial, kondisi mental, derajat moral dan tingkatan spiritual. Gunanya meningkatkan dan menguatkan kepagehan (keteguhan) hati berdasarkan landasan imani (sradha) agar tidak mudah luluh hati, rapuh jiwa, runtuh iman, lalu masuk ke jurang kepapaan (nista,
derita, nestapa dan dosa).

Misalnya, oleh sebab kehilangan pegangan, merasa hidup sendiri, tak mampu mengatasi depresi, lalai kewajiban bhakti pada Hyang Widhi dan Ida Bhatara-Bhatari, kemudian berujung frustasi hingga mengambil jalan pintas bunuh diri (ulah pati). Bali sendiri dengan sebutan pulau surga seperti benar-benar menjadi “surga” bagi pencabut nyawa sendiri.

Sampai kemudian terungkap Bali menduduki peringkat satu dalam hal tingkat bunuh diri se-Indonesia. Contradictio in terminis, sangat kontradiksi dengan tipikal masyarakat (umat) Hindu di Bali.

Baca juga:  Tradisi Sembahyang di Kuburan Semakin Lestari Saat Perayaan Pagerwesi

Di satu sisi dikenal dengan karakter sosialistis-magis-religius, sangat kuat dalam ikatan kekerabatan, selalu diliputi kekuatan niskala dan taat berbhakti (setidaknya dalam urusan ritual). Namun, di sisi lain dengan mudah jatuh terjerumus pada sikap dan tindakan yang justru mencederai citra orang Bali yang sebenarnya powerfull (berkemampuan mengubah keadaan menjadi lebih baik), tough (ketahanan menghadapi tantangan) serta
struggle (mempunyai daya juang tinggi).

Jika demikian halnya, tampaknya perlu bahkan penting merekonstruksi karakter umat Hindu agar lebih kuat pagar diri dan pageh hatinya. Hal ini sejalan dengan makna hari suci Pagerwesi yang jatuh pada Budha Kliwon wuku Sinta (17/7), sebagai ritual pemujaan Hyang Widhi dalam prabhawa-nya sebagai Hyang Pramesti Guru, Tuhan Maha Pencipta, yang sedang beryoga diiringi para Dewa dan Pitara untuk tujuan kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan alam beserta segenap makhluk ciptaan-Nya.

Pelaksanaan Pagerwesi ini merupakan momen religius
penguatan sradha (iman) dan peningkatan kualitas bhakti (amal). Selaras dengan arti kata “Pagerwesi” : “Pager” (pagar/pageh) dan “wesi” (besi), benda logam yang dikenal kuat/kokoh. Terbukti, ketika umat “otonan” pun, doa/sehe yang antara lain diucapkan mengandung
harapan agar yang bersangkutan menjadi orang kuat layaknya kawat besi (mauwat kawat mabalung besi).

Baca juga:  Soal Perayaan Saraswati hingga Pagerwesi, Pemkot Keluarkan Surat Permakluman

Hanya saja, di tengah kehidupan sekarang yang sarat persaingan dalam mencari penghidupan, upaya “pagar diri” tidak lagi dengan “pageh hati” berdasar imani, tetapi sebagian di antaranya (besar/kecil) lebih memilih model “pagar magi”. Artinya melibatkan unsur-unsur magis, mistis bahkan klenis dalam usahanya memagari (mengamankan), entah itu dirinya, keluarga, rumah, usaha, harta benda, dll yang menjadi bagian kepemilikannya agar aman dan jauh dari ancaman atau serangan gaib.

Apa yang disebut dengan istilah “pekakas, srana, gagemet, rerajahan, pangasih, jimat”, dll adalah realita bahwa cara “pagar diri” beraroma gaib ini memang nyata adanya. Bahkan ada yang lebih nekat lagi, dengan harapan hasilnya cepat dan dahsyat, yaitu menggunakan serangan black magic (desti, teluh, tranjana).

Fenomena yang jelas-jelas mengesampingkan “pageh hati” ini tak dapat dimungkiri telah menjadi bagian tak terpisahkan dari karaktersitik manusia, dari status awalnya sebagai homo animal dengan gaya homo homini lupus, hingga meningkat menjadi homo religius sekalipun. Apalagi jika pikiran, hati dan jiwanya telah disusupi/dirasuki ahamkara (ego, ambius), ingin memiliki bahkan menguasai apapun yang menurutnya akan menjadikan dirinya tampil superior (sosial-material), maka berbagai cara pun dihalalkan.

Baca juga:  Langkah Bali Menghadapi Tahun Gelap 2023

Sloka kitab suci Bhagawadgita, XVI. 13 telah menyuratkan kenyataan ini: “Idam adya may? labdham, imam pr?pasye manoratham, idam asti’ dam api me, bhawisyati purnardhanam” (sekarang (benda) ini telah kudapat, tujuan itu ingin kucapai, harta benda ini telah menjadi milikku dan kemudian haripun tetap menjadi
milikku).

Melalui ritual suci Pagerwesi umat Hindu diingatkan agar dalam memagari diri, atau apapun yang menjadi bagian miliknya hendaknya tetap berdasarkan “pageh hati”, teguh, dan kukuh patuh pada sesuluh dalam merengkuh kehidupan, sehingga tidak mudah rapuh dan jatuh pada jurang kenistaan dan kehancuran.

Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN