Ida Bagus Gede Randika Pradayana. (BP/Istimewa)

Oleh Ida Bagus Gede Randika Pradayana

Pariwisata untuk Bali, bukan Bali untuk Pariwisata. Begitulah sebuah prinsip yang dikatakan Prof. Mantra dalam bukunya yang berjudul Bali: Masalah Budaya dan Modernisasi.

Hari ini kita ketahui bersama, pembangunan di Bali terjadi begitu masifnya hingga pelosok-pelosok. Terutama pembangunan vila, hotel, kafe, restaurant untuk pariwisata. Tidaklah heran pada triwulan satu 2024 saja pemerintah Provinsi Bali telah mencatat
realisasi investasi hingga 12,48 triliun.

Dengan menjamurnya pembangunan untuk pariwisata, banyak wisatawan yang pada akhirnya datang ke Bali. Untuk sekadar berlibur atau ada yang memilih untuk menetap dalam jangka waktu yang cukup lama.

Berdasarkan data statistik terakhir yang dirilis oleh Disparda Provinsi Bali, pada Mei 2024 kunjungan wisatawan ke Bali mencapai 544.601 wisatawan. Jumlah ini meningkat 30% dari Januari 2024. Ini kemudian berdampak pada pertumbuhan ekonomi di Bali pada Triwulan I 2024 yang mencapai 5,98%.

Namun, untuk mencapai titik ini, tak sedikit yang dikorbankan. Banyak masyarakat yang rela menjual tanahnya. Itu mereka lakukan agar tetap bisa menjalankan fungsi sosio kulturalnya, melaksanakan upacara-upacara adat atau kebutuhan lainnya. Ironisnya tanah untuk kebutuhan adat (ritual) pun ikut dijual atas nama pariwisata.

Baca juga:  Peran Guru Melayani untuk Menginspirasi

Namun mengapa hingga harus seperti ini? Jika ditarik jauh ke belakang, sebelum tahun 70-an Bali menghadapi krisis ekonomi yang hebat. Namun dengan landasan sosial keagamaan dan budaya yang kokoh, Bali mampu memperlihatkan pembaharuan dan pengembangan dalam seni, sebagai contoh Tari Kebyar dan Cak.

Hal serupa terjadi pula semasa pandemi beberapa tahun silam. Penelitian yang dilakukan Rai Mantra (2023) menunjukkan bahwa Lembaga Perkreditan Desa
(LPD) yang dijiwai modal budaya kolektif mampu memberikan bantuan sosial kepada masyarakat adat semasa Covid-19. Artinya modal utama Bali ada pada modal intelektual (local genius).

Tak hanya perihal jual tanah, lingkungan pun tak jarang jadi korban. Sawah-sawah kini disulap menjadi bangunan-bangunan untuk kebutuhan pariwisata. Pada tahun 2022 saja dikatakan bahwa alih fungsi lahan dari pertanian ke nonpertanian berada di angka 600 Ha.

Padahal salah satu prioritas pembangunan untuk Bali yang pernah dicanangkan pada Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Pelita Nasional sewaktu zaman orde baru adalah pertanian. Bali juga punya sistem subak yang menggemparkan dunia global.

Baca juga:  Mitigasi Corona dan Ekologi Budaya

Pondasi yang sudah di bangun benar-benar runtuh. Tidakkah kita menyadari hal itu? Melihat hal ini rasa-rasanya, pariwisata kita sudah mengarah ke pariwisata kapitalis yang orientasinya hanya profit.

Bali mulai meninggalkan jati dirinya. Budaya tak lagi menjadi landasan utama untuk mengembangkan Bali. Justru bangunan-bangunan yang dijadikan strategi utamanya. Inilah yang diwanti-wanti oleh Prof. Mantra lewat tulisan-tulisannya selama ini dan menyebutnya sebagai touristic culture.

Lebih dalam lagi, cobalah kita renungkan sebuah kesan yang disampaikan Prof Mantra ketika menjabat sebagai Gubernur Bali dalam bukunya berjudul Landasan Kebudayaan Bali. “Saya masih ingat akan pengalaman saya sebagai Kepala Daerah, pada waktu menerima
tamu-tamu negara, yakni pejabat-pejabat tinggi dari luar negeri. Ada beberapa yang menyatakan pada saya, bahwa mereka merasa naik kendaraan di tengah-tengah tanah yang menghijau dan memberi suasana yang tenang.”

Ini adalah sebuah refleksi untuk kita akan apa yg terjadi hari ini. Kita harus sadar menjaga keharmonisan adalah kiat utama untuk menjalankan pariwisata. Tri Hita Karana haruslah diamalkan dengan baik, bukan hanya jadi pemanis saat kampanye. Tri Hita Karana hanya dijual untuk menarik perhatian publik, padahal nyatanya semua dilibas untuk kepentingan investor. Hari ini jasmani kita boleh saja sejahtera, namun batin kita penuh kesengsaraan.

Baca juga:  Cok Ace Ungkap Dua Syarat Wisman Bisa Kunjungi Bali

Tak ada salahnya membangun villa, restaurant, hotel di Bali. Namun yang harus diperhatikan jangan sampai itu menggerus budaya, membuat kita lupa akan jati diri sebagai orang Bali. Perlu ada keseimbangan dalam pembangunan.

Bagi saya, salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah pemulihan (regenerative). Kembalikan bagaimana seharusnya Bali itu sesuai dengan potensi dan nilai yang ada.

Kebijaksanaan yang diambil harus berlandas pada local genius dan landasan kebudayaan (agama, seni, budaya, bahasa, ekonomi). Rasa sadar-budaya harus kita pupuk kembali agar muncul ketahanan diri dalam menghadapi
perubahan.

Ingat tak ada yang tetap selain ketetapan perubahan, maka penting untuk punya landasan yang kuat. Jangan lagi terjebak dalam pemikiran barat yang imperatif dan kapitalis. Bali Harus kembali.

Penulis, Alumni Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Brawijaya

BAGIKAN