Sekretaris DPD Prajaniti Hindu Indonesia Provinsi Bali, I Made Dwija Suastana, S.H., M.H. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Penghapusan sanksi “Kasepekang dan Kanorayang” dalam awig-awig Desa Adat Satra, Kabupaten Klungkung mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan, salah satunya Sekretaris DPD Prajaniti Hindu Indonesia Provinsi Bali, I Made Dwija Suastana, S.H., M.H.

Ia mengaku salut dan surprise dengan langkah maju yang dipelopori oleh Desa Adat Satra, Kabupaten Klungkung ini.

Menurutnya, kesepakatan krama Desa Adat Satra tersebut merupakan implementasi dari Desa Mawacara, Negara Mawa tata yang sebenarnya. Konsep Desa Mawa Cara Negara Mawa Tata menekankan pentingnya keharmonisan dan keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Sejatinya, menurut Dwija, hukum adat yang di-sungkemin oleh masing-masing desa adat di Bali adalah pedoman yang tidak bersifat saklek. Awig-awig desa adat bersifat fleksibel, menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

“Saya surprise Desa Adat Satra memiliki cara pandang yang sangat maju dalam menyikapi dinamika yang terjadi di wewidangan desa adatnya. Desa Adat Satra pantas dijadikan role model tata kelola hukum adat di Bali yang modern dan inklusif,” kata Dwija, Minggu (21/7).

Baca juga:  Lolos Top 99 Inovation, Wabup Suiasa Presentasikan Inovasi Garbasari Di Hadapan Tim Panelis KIPP

Menurutnya, pengelolaan desa adat yang inklusif sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan desa adat di Bali ke depannya. Pengelolaan yang inklusif yang dimaksudkan adalah tata kelola desa adat beserta perangkat hukum adatnya yang mendukung kesetaraan, partisipasi, serta toleransi dengan mengikutsertakan keterlibatan lingkungan, rasa hormat, menghargai hak asasi manusia dan koneksi dari berbagai kelompok.

Sebetulnya pola ini telah tertuang dalam 3 kerangka utama awig-awig desa adat. Yakni, Sukerta Tata Parahyangan, Sukerta Tata Pawongan, serta Sukerta Tata Palemahan. Namun demikian, apa yang menjadi kesepakatan Desa Adat Satra dengan menghapuskan sanksi adat kasepekang dan kanorayang patut diapresiasi sebagai local genius yang ke depannya dapat menjadi referensi bagi desa-desa adat lainnya di Bali disesuaikan dengan Desa Mawacara-nya.

Dengan dihapusnya sanksi “kasepekang” dan “kanorayang” ini, seyogyanya membuat warga Desa Adat Satra lebih tertib dan senantiasa mematuhi “awig-awig” dan “perarem” desa adat. Justru hal ini menjadi pelecut semangat krama desa adat dalam menjalankan swadharma masing-masing.

Baca juga:  Lomba Layang-layang Harus Terapkan Aturan “Knockdown”

Dengan dihapusnya sanksi-sanksi tersebut, sebenarnya itu upaya persuasif agar warga “menghukum diri” terlebih dahulu sebelum berniat melanggar aturan setempat.

Tak kalah pentingnya, langkah maju Desa Adat Satra ini adalah sebagai pintu masuk harmonisasi aturan adat dengan hukum positif yang berlaku. Inilah dikatakan konsepsi “desa mawacara”, “negara mawa tata” menjadi bagian integral dalam mewujudkan harmoni dalam Masyarakat hukum adat di Bali. Masyarakat hukum adat adalah pilar penting terbentuknya republik ini dan merupakan konsensus yang dituangkan dalam Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945.

Langkah progresif Desa Adat Satra menjadi penting sebagai upaya masyarakat hukum adat di Bali menjaga agar kesatuan masyarakat adat tetap diakui oleh negara sepanjang masih hidup. “Untuk itu sudah saatnya kita terus mendorong agar rancangan UU tentang Masyarakat Adat segera bisa disahkan oleh negara menjadi UU,” ujar Dwija.

Seperti diketahui, Desa Adat Satra, Kabupaten Klungkung telah merevisi awig-awignya. Salah satunya dengan menghapus jenis sanksi kasepekang atau dikucilkan maupun kanorayang atau dikeluarkan dari desa adat.

Baca juga:  Gara-gara Ini, Warga Lelateng Nyaris Diamuk Warga

Prajuru Desa Adat Satra menilai sanksi-sanksi semacam itu, sudah tidak relevan lagi dalam situasi dan kondisi desa adat seperti sekarang ini.

Bandesa Adat Satra, Dewa Ketut Soma mengatakan bahwa awig-awig itu disusun memang agar ada suatu kepastian hukum dalam rangka mewujudkan ketertiban dari krama desa adat itu sendiri. Sebab, adat tidak pernah membuat masalah, tetapi yang sering berbuat masalah justru krama itu sendiri.

Tapi ketika ada krama yang bandel, tidak melaksanakan kewajiban, sistem sanksinya sudah harus diubah. Tidak seperti dulu ada sanksi kasepekang. Demikian juga dengan sanksi pecat atau kanorayang.

Oleh karena itu, krama yang dianggap bermasalah karena tidak melaksanakan kewajiban, akan dipanggil, dibina, dan dijelaskan kembali apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Sehingga, ke depannya akan diupayakan cara-cara persuasif, tidak lagi cara-cara yang represif dan cenderung keras. Dengan upaya itu, diharapkan bisa memperkuat kesatuan krama desa adat dan mencegah krama sendiri keluar dari desa adatnya sendiri. (Ketut Winatha/balipost)

BAGIKAN