A.A Ketut Jelantik, M.Pd. (BP/Istimewa)

Oleh A.A Ketut Jelantik, M.Pd

Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) untuk siswa baru yang fokus pada upaya untuk penciptaan
lingkungan belajar yang aman, nyaman dan merdeka dari beragam bentuk kekerasan tengah menjadi euphoria di sekolah. MPLS pola baru ini diharapkan
menjadi herbarium tumbuh kembangnya disiplin positif, semangat dan sekaligus.pembentuk ketangguhan siswa sehingga pada akhirnya mereka menjadi sosok resilien yang.memiliki daya lenting tinggi di tengah perubahan
paradigmatis yang terjadi saat ini.

Sementara pada dimensi lain, tahun pelajaran baru hendaknya dijadikan momentum oleh seluruh warga
sekolah untuk segera “move on” melepaskan diri dari kebiasaan usang ke kebiasaan baru yang adaptif dengan masa kekinian. Dengan demikian, kepala sekolah, guru maupun tenaga kependidikan benar-benar mampu menjadi katalis transformasi pendidikan di sekolah.

Tulisan ini mencoba untuk merefleksi sejumlah kebiasaan usang yang masih sulit dilepaskan oleh sebagian besar warga sekolah dipotret dari perspektif
kepala sekolah, guru maupun sekolah sebagai
sebuah institusi. Program merdeka belajar yang dirancang Kemendikbudristek, dimaksudkan untuk memberikan kemerdekaan bagi siswa untuk belajar sesuai dengan potensi yang dimiliki.

Namun faktanya saat ini tampaknya belum berjalan sesuai harapan. Di sebagian benak siswa, lingkungan sekolah masih belum memberikan keleluasaan bagi mereka untuk mengekplorasi potensi yang dimiliki.

Baca juga:  Manajemen Talenta, Kunci Daya Saing Bangsa

Mereka masih sering dihadapkan pada pekerjaan rumah yang berjibun, target capaian akademik yang wajib dipenuhi karena telah dipatok sekolah. Bukan itu saja, siswa juga masih dibayangi oleh raut wajah guru yang “menakutkan”. Guru masih terlalu hegemonik.

Penguasa tunggal di kelas, apapun perintahnya wajib dan menjadi harga mati harus dipatuhi oleh siswa. Sementara lingkungan sekolah belum cukup akomodatif dan toleran dengan “dunia anak”. Di mata siswa sekolah dinilai masih “menyeramkan” karena dipenuhi dengan
tumpukan portofolio administrative.

Tentu, kita tidak bisa berharap banyak dari kondisi ini. Impian pembelajaran yang menyenangkan, bermakna,
kreatif, inovatif berdasarkan pengalaman kongkrit
yang seharusnya bisa diciptakan oleh guru, hanya
sebatas impian. Jujur harus diakui, sebagian di antara
guru-guru kita belum mampu melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada kebutuhan
peserta didik.

Skema pembelajaran berdiferensiasi yang digadang gadang akan mampu meningkatkan kualitas dan hasil belajar siswa belum berjalan sesuai dengan harapan. Bukan karena metode ini kurang shopisticated, namun
karena guru enggan mengimplementasikannya secara utuh dan bersungguh-sungguh. Utuh jika dilakukan secara terencana, sistematis dan berkelanjutan.

Baca juga:  Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber Refleksi Perwujudan Segara Kerthi

Sungguh-sungguh jika dibarengi dengan evaluasi dan refleksi. Harapan agar guru menjadi pemilik dan pembuat kurikulum belum tercapai.

Ketika di dalam kelas, guru juga belum sepenuhnya mampu memfasilitasi siswa untuk menggali pengetahun baru dari berbagai sumber dan media belajar yang beragam. Implementasi pembelajaran berdiferensiasi baru sebatas catatan akademik. Terlihat,
namun belum terimplementasikan dengan baik.

Dominasi guru selama proses pembelajaran masih terasa. Sebagian guru juga masih fokus pada upaya penuntasan kurikulum alias kejar target. Akibatnya, proses penilaian hanya pada aspek penilaian sumatif dan mengabaikan penilaian formatif. Pada hal penilaian formatif ini sangat penting sebagai dasar guru untuk melakukan perbaikan proses pembelajaran berikutnya.

Nah, dalam atmosper pembelajaran seperti itu, maka Implementasi Kurikulum Merdeka hanya asesoris akademik hanya stempel klaim bahwa sekolah telah melakukan transformasi, meskipun sesungguhnya transformasi semu. Dalam catatan Balai Guru Penggerak ( BGP) Bali, jumlah guru penggerak terus mengalami peningkatan menuju titik ekualibrium ideal.

Baca juga:  Kuota Bina Lingkungan bagi Sekolah

Guru penggerak selain diharapkan mampu menjadikan
dirinya sebagai role model perubahan di sekolah, juga dituntut melaksanakan tiga misi yakni menjadi katalisator untuk mewujudkan profil pelajar Pancasila, mentor/ pelatih bagi guru lain, serta mengembangkan praktik baik dalam rangka mentransformasi ekosistem pendidikan. Jujur harus diakui, sebagian diantara mereka (guru penggerak) telah mampu menjadi motor penggerak, paling tidak di lingkungan terdekatnya.

Namun sayang, masih cukup banyak diantara mereka
yang belum sepenuhnya mampu mengagregasi
ketiga misi tersebut. Adalah tugas kepala sekolah untuk mentransformasikan lingkungan sekolah menjadi
lingkungan yang menyenangkan, menantang sekaligus menjadi ruang yang dipenuhi kreativitas dan inovasi siswa sesuai dengan potensi dirinya.

Untuk itu, kepala sekolah harus mampu mentransformasikan diri dari sosok yang dilayani ke
sosok pelayan siswa dan orang tua. Untuk mampu
melakukan transformasi maka dibutuhkan kepala sekolah yang berintegritas yakni adanya satu kesatuan antara pikiran, perkataan dan perbuatan.

Selain itu juga dibutuhkan kepala sekolah yang
memiliki kemampuan untuk menjadi motor penggerak di sekolah melalui kompetensi professional yang mumpuni.

Penulis, Pengawas Sekolah Dikpora Bangli, Juga Fasilitator Sekolah Penggerak Kemendikbudristek A3

BAGIKAN