DENPASAR, BALIPOST.com – Munculnya ancaman bahwa aparat akan menindak pemilik layang-layang yang melanggar dengan tindakan pidana membuat sejumlah pecinta layang-layang kecewa. Dengan belajar dari kasus jatuhnya helikopter di kawasan Suluban, Pecatu, Badung mereka justru menyalahkan pengusaha heli yang tak melihat bahwa bulan ini musim layang-layang di Bali dan harus berhati-hati terbang rendah.
Pecinta layang-layang asal Denpasar, I Made Kena menilai justru pengelola heli yang salah. Mereka berani terbang rendah. Sebab, layang-layang Bali paling tinggi mengudara dalam radius 150 meter.
Hal itu juga dibenarkan rekannya, Made Bendi bahwa pemerintah tak boleh menyalahkan pecinta layang-layang. Justru dia setuju dengan Menhub Budi Karya Sumadi bahwa masalah ini dipakai pembelajaran dengan mengutamakan keselamatan. Ini artinya, sekalipun heli ada yang menyewa, dengan harga tinggi, namun jika kondisi udara tak memungkinkan terbang rendah harusnya tawaran itu ditolak. ‘’Apalagi di Bali tak sepanjang tahun musim layang-layang,’’ tegasnya, Selasa (23/7).
Kalangan akademisi mendukung hal itu. Akademisi Universitas Udayana Prof. Putu Rumawan Salain, Senin (22/7) mengatakan, penggunaan moda transportasi udara seperti helikopter tidak boleh sembarangan bermanuver. Harus mengikuti aturan dan kesepakatan yang ada.
Dia menegaskan ada regulasinya untuk menerbangkan moda transportasi udara. Misalnya moda transportasi udara yang bermesin jet, baling-baling, helikopter, dan lainnya. Pesawat udara dengan tipe masing-masing mesin memiliki aturan ketinggian tertentu untuk menerbangkan dan ketentuan area yang diperbolehkan untuk diterbangkan termasuk jalurnya.
“Misalnya dari Australia mau ke Singapura lewat Indonesia, maka memberi tanda, ada asap. Seperti itu, sudah diatur regulasinya, sehingga dengan demikian tidak boleh melakukan apa maunya sendiri,” tandasnya.
Begitu juga ketika di area Airport Ngurah Rai dilarang orang bermain layang-layang dan burung laut agar tidak mengganggu, maka telah diatur. “Pesawat mau belok ada aturannya, syarat ketinggian bangunan di sekitar airport juga tidak diizinkan dengan aturan penerbangan yang ada,” imbuhnya.
Begitu juga pada moda helikopter. Ketika pertama terbang secara vertikal, baru mengambil ancang-ancang untuk menaikkan ketinggian atau pun memutar ke wilayah yang dituju. “Tapi tetap tidak bisa bebas memotong jalur atau bermanuver sesuka hati, itu sudah ada rutenya,” tegasnya.
Menurutnya, ke depan tata tertib pengaturan transportasi udara harus kembali ditegakkan. Bahkan, ke depan jika kemacetan di darat tak teratasi, tidak menutup kemungkinan transportasi udara menjadi pilihan.
“Jika itu ada, maka udara kita akan penuh dengan benda terbang, jika tidak diatur akan saling tabrak. Dengan sistem radar salah satunya, dapat dipantau dan terawasi. Semua penyedia jasa penerbangan harus tunduk,” ujarnya.
Ia pun mempertanyakan apakah pengaturan transportasi udara sudah diatur atau sudah diatur tapi tidak dilakukan sehingga terjadi kecelakaan seperti kemarin.
Seingatnya, jasa penerbangan pribadi yang ada di Benoa telah beroperasi sejak dulu. Sementara helikopter yang jatuh belum lama ini merupakan “pemain” baru. “Maka ke depan harus ada koordinasi antara pengguna jasa penerbangan tranportasi udara secara langsung ke kawasan, kalau tidak, maka akan membahayakan. Kedua, harus ada kesepatan jalur dan ketinggiannya karena kalau tidak ke depannya jika suatu saat banyak penerbangan, maka akan bisa tabrakan,” tandasnya. (Sueca/Citta Maya/balipost)