Marjono. (BP/Istimewa)

Oleh Marjono

Heboh soal PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) Jateng tahun 2024 dengan maraknya piagam yang diragukan keaslian atau keabsahannya. Penulis sebut piagam palsu (saja) bukan barang baru di negeri ini.

Karena jauh sebelumnya sudah tergelar ijazah palsu, dokter palsu, dosen palsu, nilai palsu, KTP palsu, KK palsu, surat nikah palsu, status palsu, sumpah palsu, paspor/visa palsu, penerima bansos palsu, sertifikat tanah, obat palsu maupun tandatangan palsu. Bahkan
jabatan/pangkat palsu, apalagi janji-janji palsu.

Semua yang palsu itu hanya berujung memproduksi kontra poduktif. Bukan saatnya menyalahkan pemerintah, tapi alangkah lebih arif kala para orangtua/
wali murid CPD (calon peserta didik) merefleksi diri atau evaluasi, apa yang sudah dilakukan sudah tepat atau sekadar menuruti emosional bahkan memaksakan kehendak hanya menuruti kata hati orangtua tanpa
melibatkan diskusi dengan anak-anak.

Aksi para orangtua/wali CPD pemegang piagam palsu, yang “ngotot” diterima di sekolah tujuan jika terbukti palsu dan lolos, maka kemudian praktik ini hanya akan membunuh kesempatan anak yang lain yang punya potensi setara yang tanpa embel-embel piagam. Jika dipaksakan pun, cara-cara ini menjadi tidak sehat, karena anak diajarkan mejadi sosok yang tidak bermental juara, no pain no gain.

Baca juga:  Masih Banyak Rakyat Miskin, Salah Siapa?

Tendensi boleh asal tidak tendensius, ambisi pun tidak dilarang tapi jangan sampai ambisius. Jika kemudian jalan instan menjadi panglima, maka jalur kusam ini sejak awal kita harus berani melawan. Tanpa itu mimpi Indonesia Emas hanya menyisakan sesal yang bertubi.

Apa yang akan terjadi ketika raw material sekolah sudah dikepung dengan kepalsuan. Bukankah kita sejak awal
menanamkan kepada putra-putri kita untuk berlaku jujur, tanpa kebohongan dan tidak dengan lika-liku yang penuh aroma palsu. Originalitas atau bsesuatu yang sah selalu menang atas angka sulapan, predikat karbitan
atau juara semu. Kesalahan tak pernah bisa mengalahkan kebenaran.

Dianulirnya point atas 60-an piagam palsu dalam PPDB tahun ini di Jawa Tengah ataupun kemurungan ini mengingatkan saya pada Presiden Sukarno, dia pernah mengatakan, “Belajar tanpa berfikir tidak ada gunanya,
tapi berpikir tanpa belajar sangat berbahaya!”

Kemudian kalimat yang bernyawa lainnya dari Putra Sang Fajar ini, yakni “Pengalaman adalah guru, adalah pedoman, adalah kemudi yang sangat berharga. Pengalaman yang tidak diperhatikan akan menghantam roboh kita sendiri.”

Baca juga:  Rabun Budaya Bali

Hemat saya, peristiwa ini harus menjadi lesson learn bagi semua pihak. Jangan asal tuntut, tidak boleh asal demo, jangan sampai otot tertindih otak.

Semua ada pelajaran di baliknya. Karena kala kita memaksakan diri jelas hanya akan semakin menjauh-
kan anak-anak kita dari peneguhan cita-citanya.

Suka tak suka, praktik piagam palsu dalam PPDB ini hars dihentikan, karena penggunaan piagam palsu sama halnya melakukan praktik korupsi. Maka di sii
penting adanya pendidikan karakter berikut revolusi mental bagi semua pihak. Pendidikan karakter ini sekurangnya akan melempangkan pendidikan antikorupsi sebagai sebuah gerakan budaya dalam menumbuhkan nilai antikorupsi sejak dini.

Di lapangan, kita menyaksikan kasus-kasus korupsi kian marak, meluas dan beragam, serta perilaku saling tidak percaya, saling menyalahkan, lepas tanggung jawab, mencari jalan pintas, arogan, inkonsisten, dan rupa-rupa perilaku tak pantas lainnya kian menyesakkan dada, kita sadar budaya antikorupsi kita menghilang.

Termasuk pemaksaan kehendak pemegang piagam palsu diterima di sekolah impiannya. Muara dari persoalan korupsi adalah hilangnya nilai-nilai antikorupsi (jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani, adil) dari dalam
diri individu.

Baca juga:  Mendorong Generasi Muda Bali Berwirausaha

Maka berani jujur jika piagam itu diragukan keabsahannya (palsu) menjadi penting sebagai bagan edukasi bagi khalayak dan kaum muda kita di masa mendatang. Kita tak pernah melupakan nilai jujur dan keberanian Ki Hajar Dewantara.

Dibuatnya artikel bertajuk “Als ik een Nederlander was… “ yang artinya kalau saya seorang belanda, dimana isi
dari tulisan ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Sampai beliau harus diasingkan ke Belanda.

Sikap keberanian dari kejujuran yang ia tuangkan dalam tulisannya patut kita contoh demi kebaikan bersama, walaupun Ki Hajar Dewantara diasingkan tetapi ia memanfaatkannya untuk aktif mengikuti suatu
organisasi dan di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akta, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya.

Akhirnya, dengan atau tanpa piagam pada PPDB tahun ini, tetaplah bersemangat, bersenyum, berpengharapan tanpa berair mata. Kata Arai dalam film Laskar Pelangi, “Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.”

Penulis, ASN Bapenda Pemprov Jawa Tengah

BAGIKAN