Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Tumpek Landep yang dilaksanakan setiap Saniscara Kliwon wuku Landep adalah ritual suci pemujaan ke hadapan Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Sanghyang Siwa Pasupati. Dewa pemelihara segala benda tajam atau penguasa senjata.

Permohonannya, agar diberikan ketajaman pikiran
(landeping idep) dan kekuatan lahir batin, sehingga dalam menggunakan pikiran beserta hasil buah
pikir selalu dalam keadaan selamat sekaligus bermanfaat bagi dirinya dan juga masyarakat.

Jadi, sebenarnya Tumpek Landep itu bukan “otonan” motor atau produk teknologi kekinian lainnya, melainkan “otonan idep” (manah) agar menjadi manacika– pikiran
bersih dan suci. Melalui ritual Tumpek Landep, ketajaman pikiran itu disimbolisasikan dengan menyucikan benda-benda tajam berujung lancip (landep/lanying), berbahan dasar logam, yang tergolong sebagai alat persenjataan tradisonal, seperti keris, tombak, pedang, pemutik, dan sejenisnya.

Bahwa kemudian benda apapun yang berunsurkan logam seperti motor, mobil, komputer, mesin percetakan, TV, kamera, bahkan peralatan tempur/perang dll. turut juga diotonin, tampaknya dapat diterima mengingat berfungsi sebagai “senjata” — alat/perangkat kerja dalam menyejahterakan hidup di dunia (jagadhita).

Baca juga:  Pupuk Kebersamaan, Sejak 1973 Warga Pumahan Lestarikan Megibung

Tak salah jika filsuf Perancis Descartes berucap, cogito ergo sum: aku berpikir maka aku ada. Artinya, pikiran (idep) itulah yang menandakan sekaligus menjadikan manusia itu ada (idup) — eksis berkehidupan. Caranya, melalui profesi dan kompetensi masing-masing,
seseorang dapat menjual (adep) buah pikiran (idep) dengan segala hasil karya/produknya (Iptek). Hanya saja, tidak mesti sampai menggadaikan idup dengan menghambakan diri pada idep.

Sebab idep itu tak ubahnya seperti motor (penggerak) kehidupan, yang boleh jadi dari sini melahirkan tradisi “ngotonin motor” saat Tumpek Landep. Bila dikaitkan lagi dengan Tri Pramana, yang melengkapi kesempurnaan kelahiran manusia, maka bagian pikiran (idep) itu akan terus bergerak (bayu), yang setelah disuarakan (sabda), baru kemudian diaktualisasikan makna simbolik dibalik ritual Tumpek Landep.

Perihal idep itu, Muni Patanjali (dalam Yasa, dkk.. 2011), menyatakan, pikiranlah yang menjadi penentu utama pencapaaian apapun dalam hidup ini, apakah akan menderita atau menikmati bahagia. Pikiran itu adalah sang penguasa indria, yang mendorong atau menyebabkan seseorang berbuat baik atau buruk.

Baca juga:  Happy Ending G20?

Oleh karenanya, pikiranlah yang dikendalikan dengan jalan yoga, yang menurut Maharsi Patanjali (I:2) disebut “yogas citta wrtti nirodah” — mengendalikan gerak-gerik pikiran, atau cara untuk mengendalikan tingkah polah pikiran. Sebab, pada dasarnya pikiran manusia itu cenderung liar, berada di luar diri, bias, dan cepat terpesona oleh aneka ragam objek yang dikhayalkannya yang sekiranya dapat memberikan kenikmatan.

Hal senada dikemukakan Saraswati (2005), pikiran merupakan sebuah alat yang jauh lebih berbelit-belit dari pada komputer (mesin hitung) modern manapun dewasa ini. Pikiran dikatakan berjalan dengan kecepatan yang melebihi kecepatan manapun. Lontar Sewaka Dharma juga menjelaskan, salah satu sifat pikiran itu disebut “ksipa”, yaitu pikiran yang tidak pernah diam, seperti monyet yang senang lompat sana lompat sini, dari satu objek ke objek lainnya.

Ada juga yang mengandaikan pikiran itu seperti kuda liar dan binal, atau seperti perilaku anak kecil yang tidak pernah diam. Segala sesuatu yang baru dari penglihatannya dianggap baik, dan selalu ingin mengikmati dan menguasai.

Baca juga:  Integrasi Transportasi Publik

Utntuk itulah, sebagaimana disuratkan di dalam kitab suci Bhagawadgita, II. 26: yato yato niscalati, manas cancalam asthiram, tatas tato niyamyaitad, atmani eva vasam nayet (bahwa dari manapun pikiran mengembara
karena sifatnya yang berkedip-kedip dan tidak mantap, seseorang dengan pasti harus menarik pikirannya dan membawanya kembali di bawah pengendalian sang diri”. Dengan begitu, pikiran akan menjadi “sattvika”, diliputi dan meliputi kejujuran, kelembutan, keagungan, kemuliaan, keikhlasan dan keindahan.

Dari padanya sangat berguna untuk mengendalikan idep dalam idup agar selalu bergerak ke arah kebaikan, kebenaran dan tentunya bermanfaat. Sehingga idup ini tidak idep-idepang idup (sekadar numpang hidup), tetapi dengan idep dapat tetap idup — ngidupang – membawa berkah anugrah bagi kehidupan.

Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN