DENPASAR, BALIPOST.com – Kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Bali terus meningkat. Namun ini bukan berarti ekonomi Bali yang ditunjang pariwisata ikut membaik. Banyaknya wisman yang menginap di vila atau akomodasi wisata tak berizin, menjadikan pengusaha sektor pariwisata berizin hanya bisa gigit jari. Tuntutan kenaikan pajak menjadikan beban makin berat.
Pelaku usaha pariwisata Agus Pande Widura, Jumat (26/7) mengatakan, banyak yang menyimpulkan bahwa ekonomi Bali sudah membaik pascapandemi Covid-19 dengan melihat tingkat kunjungan wisatawan. Namun yang perlu diperhatikan adalah segmen market dari wisatawan yang datang ke Bali.
“Apakah mereka betul-betul menginap di hotel dengan harga yang normal atau lebih banyak mereka kontrak tempat yang long stay seperti vila, mengingat ada beberapa jenis visa yang memungkinkan wisman tinggal lama, seperti golden visa. Dampaknya Bali memang akan ramai, tapi mereka akhirnya menjadi penduduk di Bali, tentunya pajak hotel agak berkurang,” ujarnya.
Dengan beralihnya wisman tersebut ke akomodasi lain, berpotensi menurunkan pedapatan pajak dari PHR. Sementara vila-vila yang banyak menjadi pilihan tempat tinggal bagi wisman, belum bisa terdeteksi pajaknya karena banyak vila tidak teregistrasi memiliki izin usaha.
“Karena kadang-kadang mereka sewanya bukan lagi harian tapi tahunan. Jadi otomatis dalam 1 tempat tinggal bisa tinggal beramai-ramai. Jadi memang tidak bisa dijadikan acuan kedatangan wisman meningkat, tidak serta merta penghasilan PHR meningkat,” ujarnya.
Agus mengatakan, meski sudah ada perbaikan ekonomi Bali, namun belum bisa dikatakan 100 persen normal karena masih banyak perbaikan infrastruktur dan cashflow pengusaha yang belum stabil. “Jadi saat ini pun masih tahap recovery bagi pelaku usaha di Bali sehingga rencana kenaikan PPN 12% 2025 dan kewajiban lain bagi pelaku usaha belum saatnya diberlakukan di semua sektor,” ujarnya.
Dengan demikian saat ini pengusaha dikatakan memiliki beberapa beban di antaranya pembayaran penundaan kredit saat pandemi, perbaikan/maintenance usaha, hingga kewajiban perpajakan.
Maka dari itu pelaku usaha perlu dorongan dan stimulus dari pemerintah agar dapat tumbuh kencang. “Toh juga ekonomi di Indonesia dominan ditopang sektor swasta,” tandasnya.
Ia berharap tidak hanya restrukturisasi kredit yang dapat membantu pelaku usaha tapi juga ekosistem usaha lainnya seperti kewajiban pajak agar ada stimulus khusus untuk Bali dan sistem perizinan yang membuat iklim usaha lebih baik.
Kini ditambah lagi dengan sistem perizinan yang tersentralisasi dengan OSS memicu persaingan usaha yang ketat antarpengusaha di daerah. Apalagi jika daerah tersebut jenuh investasi, maka berpotensi mengganggu iklim usaha. “Uang yang masuk belum maksimal dikarenakan masih dilakukan perbaikan,” ujarnya.
Hal ini tentunya berpengaruh terhadap penerimaan pajak negara. Di Bali sendiri penerimaan pajak terbesar bukan dari lapangan usaha akmamin namun dari aktivitas keuangan dan asuransi. Sementara sektor riil belum terlihat signifikansi penerimaan pajaknya. Hal ini bisa menjadi indikasi sektor usaha belum optimal kinerjanya.
Berdasarkan data DJP Bali per Mei 2024, lima penerimaan pajak tertinggi dari Bali berasal dari aktivitas keuangan dan asuransi sebesar Rp987,55 miliar dengan kontribusi 18,61 persen sedangkan pajak dari akmamin Rp836 miliar. (Citta Maya/balipost)