DENPASAR, BALIPOST.com – Naiknya harga pangan dan sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak membuat masyarakat kelas menengah di Bali kian tertekan. Bahkan banyak yang turun menjadi masyarakat miskin.
Belum lagi rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen bahkan rencana iuran wajib asuransi kendaraan, akan semakin membuat masyarakat tertekan. Sementara untuk memenuhi kebutuhan pokok saja, masyarakat masih khawatir dengan gejolak harga yang fluktuatif.
Akademisi dari Universitas Udayana, Putu Krisna Adwitya Sanjaya, Senin (29/7) menilai, salah satu penyebab dari daya beli masyarakat yang menurun adalah volatilitas komoditas pangan yang memicu terjadinya inflasi. Sehingga hal itu menjadi penggerus pengeluaran golongan kelas menengah di Bali.
“Kelas menengah ini kan kelompok masyarakat yang spending money per bulannya di kisaran Rp2 – 9 jutaan per bulan. Selain karena inflasi, juga disebabkan oleh adanya PHK. Itu menurut saya beberapa faktor utama penyebab menurunnya masyarakat kelas menengah di Indonesia. Saya kira ini masalah serius yang perlu direduksi dan dicari akar penyebabnya,” ungkapnya.
Menurutnya, pemerintah harus menjaga inflasi agar stabil, dengan mengatur rantai pasok produk pangan, perlu diatur dari sisi hulu hingga hilir terkait komoditas pangan agar stok mencukupi, saluran distribusi, dan produksinya. Sementara daya beli yang menurun akibat PHK menurutnya perlu strategi agar PHK juga bisa direduksi.
“Bisa dengan insentif fiskal dari perusahaan dan individu, program padat karya, intensifikasi maupun ekstensifikasi lapangan kerja. Namun, memang ini perlu sinergi lintas sektor, tidak bisa pemerintah saja yang bergerak tapi segenap komponen stakeholder, pemerintah sebagai regulator dan leading sector-nya. Tapi yang lebih penting, kolaborasi antarpemangku kepentingan tersebut,” imbuhnya.
Ketua HIPMI Bali, Agung Bagus Pratiksa Linggih, mengaku heran karena banyak kunjungan ke Bali namun daya beli masyarakatnya berkurang. “Jadi, penjualan kita berkurang. Saya tanya teman-teman di hotel, berkurang. Saya tanya teman-teman pertanian, demand-nya juga berkurang. Ini kan menjadi sebuah pertanyaan,” ujarnya.
Ia pun sempat mempertanyakan penyebab turunnya daya beli masyarakat. Situasi krisis secara global, dan khususnya di Amerika pascacovid-19, inflasi cukup tinggi. Dengan inflasi tinggi, bank sentral negara tersebut akan menaikkan suku bunga agar tidak menarik dananya.
Ia menduga saat pandemi Covid-19, negara-negara di dunia banyak mencetak uang, bukan mengendalikan inflasi dari sisi supply dan demand-nya. Sehingga dampaknya terjadi seperti saat ini yaitu inflasi tinggi, daya beli masyarakat berkurang. “Inflasinya itu bukan karena pertumbuhan ekonomi, tapi dari pencetakan uang,” imbuhnya.
Sementara di Indonesia, penurunan kelas terjadi karena daya beli berkurang yang merupakan efek domino dari kenaikan suku bunga negara-negara maju seperti Amerika. Bank Indonesia juga menaikkan suku bunga, namun kenaikan suku bunga Amerika tidak serta merta diikuti oleh Indonesia karena menurutnya biaya terbesar instrumen investasi pemerintah adalah untuk pembayaran bunga obligasi. Jika suku bunga dinaikkan, maka beban pemerintah RI semakin bertambah.
“Kalau ini dinaikkan, maka pemerintah yang boncos untuk bayar bunga utangnya sendiri. Harga–harga meningkat karena cost membuat produknya tinggi, cara mempertahankan. Sementara dibilang inflasi kita stabil, tapi kalau kita tidak menaikkan interest rate, banyak dana asing yang pergi dari Indonesia dan rupiah akan semakin terpuruk,” imbuhnya.
Maka dari itu ide Family Office muncul menurutnya karena kondisi ekonomi tersebut. Harus ada modal asing masuk ke Indonesia. Dengan modal asing yang masuk ini akan mampu mempertahankan nilai tukar Rupiah. Selain itu dengan upaya meningkatkan daya beli masyarakat dengan menggenjot sektor swasta agar mampu berkontribusi lebih kepada ekonomi nasional.
“Stimulusnya bisa diberi dengan memberi pancingan daripada memberi ikan. Sekarang yang terjadi kan dikasi ikan bukan pancingan. Memang subsidi BBM sangat sensitif, sebuah kartu yang sulit dikembalikan. Dengan subsidi BBM mungkin akan lebih banyak membantu yang kaya. Tapi UMKM juga terbantu dengan subsidi BBM, karena BBM adalah pengeluaran yang tidak bisa dipisahkan, cost operasional dan pegawai juga bisa turun,” jelasnya.
Dia menambahkan subsidi BBM hanya sebagai “painkiller” (penawar rasa sakit) namun tidak menyembuhkan. Untuk menggenjot sektor swasta demi peningkatan daya beli menurutnya harus memberi stimulus jangka panjang yang tepat sasaran. (Citta Maya/balipsot)