Ahli bersaksi dalam kasus OTT Bendesa Adat Berawa di Pengadilan Tipikor Denpasar. (BP/asa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pemeriksaan saksi-saksi dalam kasus operasi tangkap tangan (OTT) dengan terdakwa I Ketut Riana, selaku Bandesa Berawa, dinilai sudah cukup. Sehingga dalam sidang Kamis (1/8), JPU mulai menghadirkan dua ahli.

Pertama adalah ahli hukum pidana, Hendri Jayadi yang merupakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia dan kedua ahli digital forensik Irwan Hariyanto.

Ahli hukum pidana dinilai menguntungkan posisi pihak terdakwa walau dihadirkan oleh pihak penuntut umum. Itu terlihat manakala terdakwa melalui kuasa hukumnya I Gede Pasek Suardika menggali soal definisi gaji, upah, isentif dan honor. Hal tersebut digali berkaitan dengan ASN atau penyelenggara negara yang dikaitkan dengan UU Tipikor.

Pertanyaan dilontarkan terkait penyelenggara batasannya apa, dan siapa bisa disebut penyelenggara negara. Ahli pidana menyebut di sana adalah pejabat negara yang bertugas baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif  Dan atau fungsi pejabat lain yang sesuai dan yang diatur dalam UU yang berkaitan dengan penyelenggara negara.

Baca juga:  Rutan Bangli "Overload" 3 Kali Lipat

Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Denpasar, perdebatan kembali terjadi antara JPU yang dikomando I Nengah Astawa dengan pihak kuasa hukum terdakwa Pasek Suardika dkk. Sementara Hali Hendri Jayadi terlihat berusaha memberi keterangan yang memperkuat dakwaan JPU. Sebaliknya Pasek berusaha mematahkan dakwaan. Hingga akhirnya Pasek dkk., merasa lega manakala keterangan ahli sebagian dinilai menguntungkan pihak terdakwa Ketut Riana.

Itu tergambar manakala terjadi pertanyaan mengenai gaji dan honor. Ahli menyebut gaji dan honor merupakan dua hal berbeda. Gaji adalah diberikan berdasarkan jabatan/profesi. Sementara honor diberikan atas dasar sebuah kegiatan yang bersifat insidentil. “Misal ketika melakukan kegiatan, maka orang itu bisa mendapat honor,” kata ahli.

Keterangan itu langsung disambut Pasek. “Jadi, klir, ya? Gaji dan honor itu beda?” kejar Pasek. ”Ya, beda,” jawab ahli. Atas jawaban tersebut, Pasek terlihat tersenyum.  Sebab, dalam dakwaan JPU, Riana sebagai bendesa adat disebut menerima gaji dari pemerintah daerah.

Baca juga:  Di Januari 2020, Ini 3 Ranperda yang Dibahas DPRD Badung

Terkait penyalahgunaan kewenangan oleh penyelenggara negara. Berdasar PP Nomor 44/2020, yang dimaksud penyelenggara negara adalah pegawai negeri sipil atau Aparatur Sipil Negara (ASN), atau orang yang menerima gaji dari APBN/APBD.

Selain itu, yang tergolong penyelenggara negara adalah orang yang bekerja di lembaga nonstruktural, lembaga pelayanan public (BUMN/BLU) dan lembaga penyiaran. ”Jika yang dimaksud itu, maka bandesa adat bukan penyelenggara negara, karena yang diterima adalah honor. Di SK Gubernur dan Perda juga menyebutnya honor diambilkan dari pengelolaan Bantuan Keuangan Khusus (BKK),” kata Pasek.

Pasek yang merasa di atas angin mengatakan, jika melihat keterangan ahli, maka banyak proses dakwaan yang keliru. Ia mencontohkan dugaan pemerasan investor yang dilakukan terdakwa.

Baca juga:  Puncak Arus Balik di Bandara Ngurah Rai, Penumpang Naik 5,2 Persen

Dikatakan, investor dalam kesaksian tidak pernah merasa diperas. Pemerasan terjadi jika investor menyerahkan uang. “Yang menyerahkan uang kan bukan investor, tapi pihak lain. Yang menentukan nilai uang dan tempat bertemu juga bukan terdakwa,” ucap Pasek.

Nah atas keterangan ahli, maka terdakwa setidak-tidaknya bebas atau lepas dari dakwaan JPU. Kalaupun diadili bukan perkara korupsi, tapi pemerasan atau tindak pidana umum.

Ahli kedua adalah Irwan Hariyanto. Dia membeber soal isi percakapan yang diambil dari ponsel yang dijadikan barang bukti oleh pihak kejaksaan. Pihak terdakwa juga menjelaskan terkait pemerasan atau penyuapan. Karena Pasek dkk., melihat bahwa yang aktif justeru pihak Andianto Nahak, seperti melakukan chat menentukan tempat, waktu dan juga menawarkan nominal Rp100 juta. (Miasa/balipost)

BAGIKAN