Oleh A.A Ketut Jelantik, M.Pd.
Kurikulum Merdeka menyebutkan bahwa salah satu ciri pembelajaran yang berpusat pada kebutuhan peserta didik adalah pembelajaran minim disrupsi. Pembelajaran minim disrupsi merupakan strategi guru untuk mengurangi terjadinya hambatan maupun rintangan selama proses pembelajaran untuk menciptakan pembelajaran yang efektif.
Hambatan atau rintangan tersebut dapat bersifat internal maupun eksternal. Motivasi siswa, metode mengajar guru merupakan sebagian kecil contoh hambatan internal. Sedangkan lingkungan dan iklim belajar, serta ketersediaan sarana prasarana merupakan contoh hambatan dari luar.
Jika dikaitkan dengan era disrupsi teknologi, maka
pembelajaran bebas disrupsi dapat didefinisikan sebagai upaya guru untuk menggunakan piranti teknologi digital secara bijaksana. Dengan demikian dampak negatif intervensi tehnologi digital dalam pembelajaran dapat diminimalisir. Tulisan ini mencoba untuk mengulas secara singkat upaya apa yang bisa dilakukan guru agar mampu menciptakan pembelajaran minim disrupsi.
Dari sejumlah referensi diketahui bahwa untuk menciptakan pembelajaran yang efektif, minim disrupsi perlu memperhatikan lima hal yakni: Iklim belajar (learning climate), penilaian dan refleksi (classroom assessment and reflection), semangat belajar dan pelibatan siswa (instructional rigor and student engagement), relevansi materi (instructional relevant) serta pemahaman guru tentang materi (knowledge of content).
Iklim belajar merupakan suasana pembelajaran yang diciptakan guru melalui serangkaian proses kontemplasi reflektif, jadi bukan lahir begitu saja. Guru perlu melakukan tindakan reflektif untuk mengukur efektifvitas proses pembelajaran sebelumnya. Hasil refleksi ini akan mengantarkan guru untuk memerankan dirinya bukan saja sebagai motivator namun juga sekaligus sebagai fasilitator.
Pemberian umpan balik, membuka kanal yang seluas-luasnya untuk menampung prakarsa, ide gagasan siswa merupakan bentuk motivasi yang diberikan guru kepada siswa. Sebagai fasilitator maka guru perlu mendorong
terciptanya pembelajaran heterogen yang multikultur. Pola pikir bertumbuh atau growth mind set terhadap peserta didik harus terus dikembangkan.
Guru hendaknya terus mendorong peserta didik untuk tumbuh dan berkembang menjadi sosok tahan banting, resilien dengan perubahan melalui aktivitas yang menantang. Membiasakan siswa untuk mencoba hal baru tanpa memikirkan apakah nantinya akan berhasil atau gagal. Kegagalan merupakan keberhasilan yang tertunda harus tetap digelorakan pada setiap denyut nadi murid.
Gagal adalah awal dari kesuksesan. Penilaian dan refleksi yang baik lahir dari tabulasi informasi tentang kemajuan belajar yang dilakukan secara kolaboratif antara guru dengan siswa. Informasi dikumpulkan secara sistematis, berkesinambungan serta penuh tanggung jawab.
Dalam kaitannya dengan inilah maka guru harus
menggunakan berbagai metode yang sistematis
untuk mengukur pencapaian siswa. Siswa adalah sosok yang unik. Sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara,bsecara kodrati siswa memiliki perbedaan
antara satu dengan lainnya.
Meski demikian, karakter mereka memiliki kesamaan. Ada kecendrungan memiliki jiwa pendobrak, progressive, ambisius sekaligus resisten dengan lingkungan sekitar. Maka dalam kontek pembelajaran
efektif, guru harus mampu memberikan kanal terhadap hasrat dan semangat belajar tersebut dengan tepat yang salah satunya adalah dengan memfasilitasi mereka dengan pembelajaran inkuiri melalui keterampilan berpikir kritis, logis dan kreatif.
Jiwa progressive yang terkadang meledak-ledak sedapat mungkin tersalurkan melalui berbagai kanal. Yang salah satunya dapat menggunakan kecanggihan teknologi.
De Andrea & Gosling dalam Moloi (2004) menyebutkan bahwa pembelajaran adalah proses sosial dan individual. Pembelajaran membutuhkan konteks sosial dan akan memberikan dampak pada siswa. Guru harus bisa meyakinkan siswa bahwa belajar adalah kepentingan individu yang akan memberikan dampak sosial pada kehidupan masa depan mereka.
Meski demikian, guru harus paham bahwa belajar adalah kegiatan sukarela. Makanya, guru tidak bisa memaksakan kehendak atas alur pembelajaran yang ditetapkannya. Preferensi siswa terhadap satu hal berbeda.
Siswa juga memiliki pemahaman, asumsi, nilai-nilai, hubungan sosial yang berbeda terhadap permasalahan
yang dihadapi. Karenanya desain pembelajaran yang disusun guru hendaknya lebih bersifat memberdayakan potensi siswa. Proses pembelajaran yang memberdayakan hanya bisa terwujud jika materi yang disampaikan beririsan dengan pengalaman nyata sehari-hari siswa.
Inilah yang dimaksud dengan pembelajaran bermakna sekaligus relevan dengan kebutuhan siswa. Meski dalam konteks merdeka belajar peran guru hanya sebagai fasilitator, bukan berarti guru abai dengan kedalaman pemahaman konsep, prinsip atau teori atas materi yang diajarkan.
Justru dalam kontek merdeka belajar, peran guru
adalah mengakselerasi pengintegrasian berbagai sumber belajar yang saat ini dengan sangat mudah bisa diakses oleh siswa. Pemahaman guru terhadap materi akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi siswa ketika mereka membutuhkan penguatan konsep, terminologi, atau prinsip lainnya.
Pembelajaran efektif yang dilaksanakan guru akan direpresentasikan oleh kemampuan guru untuk menjadikan dirinya sebagai repertoar atas berbagai permasalahan yang berhubungan dengan materi yang diajarkan.
Implikasinya pada siswa tidak saja akan terlihat ketika siswa mampu menyelesaikan problematika yang dihadapi melalui pemahaman mereka terhadap prinsip-prinsip keilmuan yang diterima, namun juga mampu mengembangkan prinsip tersebut secara lebih komprehensif dan memberikan manfaat bagi kehidupan sehari-harinya.
Penulis, Pengawas Sekolah Dikpora Kabupaten Bangli, juga fasilitator Sekolah Penggerak A3 Kemendikbudristek