DENPASAR, BALIPOST.com – Di Bali berdasarkan data BPS, persentase pengangguran pada Februari 2024 sebesar 1,87 persen. Angka ini naik dibandingkan kondisi sebelum pandemi COVID-19 yaitu Februari 2019 sebesar 1,19 persen dan Agustus 2019 sebesar 1,57 persen. Kini, gelombang PHK pun mengancam Indonesia termasuk Bali.
Jika dibandingkan tahun 2018 pada Februari angka
pengangguran di Bali hanya sebesar 0,87 persen dan Agustus 2019 hanya 1,40 persen. Pun jika dibandingkan dengan 2017, persentase pengangguran lebih kecil dari tahun 2024. Akademisi dari FEB Universitas Udayana Prof. Wayan Suartana mengatakan, PHK tak bisa dihindari karena telah terjadinya disrupsi.
Misalnya, banyak yang mencoba peruntungan di transportasi online. Sementara pariwisata untuk promosi dan proses bisnis internal sebagian sudah tergantikan oleh mesin.
Apalagi berdasarkan rilis BPS, pertumbuhan ekonomi Bali didorong oleh usaha jasa keuangan dan asuransi, bukan dari akomodasi makan dan minum. “Mestinya pertumbuhan ekonomi dengan sektor keuangan meningkat akan memberikan dampak terhadap sektor riil. Ada apa dengan pariwisata dan pertanian Bali menjadi pertanyaan menarik,” ujarnya, Selasa (6/8).
Dikatakannya, pertumbuhan pariwisata yang tercermin dari lapangan usaha akmamin tidak sekuat jasa
keuangan. Menurutnya, kemungkinan karena faktor
eksternal yang mana wisatawan tidak mempunyai
daya beli yang cukup. Selain itu harga pasar tidak berada pada kondisi yang normal karena penawaran lebih besar dari permintaan.
“Bali kemungkinan kelebihan akomodasi pariwisata. Di samping itu bisa jadi juga terjadi disrupsi pada sektor
ini dimana banyak pekerjaan digantikan oleh mesin meskipun lowongan pekerjaan di sektor lain juga bermunculan,” ungkapnya.
Akibatnya, pelaku pariwisata tidak lagi mendapatkan
abnormal return atau durian runtuh karena persaingan
yang begitu ketat. Dengan pertumbuhan ekonomi seperti itu ia berharap dapat memberikan efek yang baik dalam hal sarana dan prasarana pariwisata sehingga Bali tetap kompetitif.
Sementara pada sektor pertanian ada hal yang tidak bisa dikendalikan yaitu perubahan iklim sehingga
berakibat terhadap kegagalan panen.
Pengamat Kependudukan dan Ketenagakerjaan Dr. I Gusti Wayan Murjana Yasa, S.E., M.Si., Selasa (6/8) menjelaskan, lemahnya permintaan karena daya beli
masyarakat yang menurun berpotensi terjadi pengurangan tenaga kerja Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK. PHK adalah salah satu solusi perusahaan untuk mengurangi biaya operasional perusahaan agar
bisa bertahan.
Diakuinya, perang Rusia-Ukraina dan ketidakstabilan keamanan di beberapa negara lainnya berdampak pada melemahnya perekonomian dunia. Melemahnya
perekonomian dunia ini ditandai dengan penurunan pertumbuhan ekonomi, penurunan PDRB perkapita, yang dampak lanjutannya adalah ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran sebagai akibat
melemahnya daya beli masyarakat.
Apabila di suatu wilayah atau negara terjadi kontraksi pada PDB secara berturut-turut selama dua semester, itu gejala resesi. Menurutnya, melemahnya perekonomian sangat penting untuk diwaspadai karena
dampak lanujutannya adalah pada siklus bisnis. Siklus bisnis pada masa resesi mengalami penurunan sebagai akibat dari melemahnya permintaan karena daya beli
masyarakat turun.
Menurutnya kondisi ini perlu diwaspadai. Gelombang PHK antara Januari-Juni 2024 yang dilaporkan Kementerian Tenaga Kerja yang mencapai 32.064 orang atau meningkat 21,4%. PHK tertinggi yang dilaporkan adalah di DKI Jakarta yang mencapai 23,29%, sedangkan Bali menempati urutan kedua terendah dengan PHKJ sebanyak 19 Tenaga Kerja.
Bagi Indonesia kewaspadaan tinggi terkait peningkatan
PHK diperlukan khususnya dalam Menjagabmomentum Visi Indonesia Emas 2045 dan juga mengisi peluang bonus demografi.
Selain momentum mengisi bonus demografi, pentingnya kewaspadaan sekaligus solusi mengatasi PHK disebabkan PHK memiliki dampaik sistemik. PHK menyebabkan banyak masyarakat khususnya yang
terkena PHK akan kehilangan pekerjaan sekaligus juga kehilangan atau Penurunan
Pendapatan, berarti juga sekaligus menurunkan daya beli, akibat lanjutannya adalah kembali kepada penurunan permintaan akan barang dan jasa yang berdampak lanjutan pada pengurangan produksi, pengurangan karyawan, lebih parah lagi kalau sampai pada penutupan usaha.
Menurutnya, setidaknya ada lima hal penting yang perlu dilakukan. Pertama, meningkatkan efektivitas JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan) bagi pekerja yang
terkena PHK. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), yang merupakan aturan turunan Undang Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Para pekerja yang terkena PHK dari perusahaan yang ikut serta pada JKP memungkinkan untuk mendapatkan jaminan kehilangan pekerjaan. Kedua, pakerja yang
di-PHK diharapkan juga mendapatkan hak-hak mereka sesuai dengan peraturan perundangan.
Ketiga, dalam upaya menjaga ketahanan dan kestabilan ekonomi jangka panjang, upaya-upaya peningkatan investasi dan peluang usaha menjadi faktor penting menekan pengangguran sebagai dampak peningkatan angkatan kerja dan juga pengurangan tenaga kerja.
Keempat, selain pengembangan sektor riil melalui perluasan dan peningkatan kualitas kesempatan kerja
juga harus dibarengi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam upaya meningkatkan produktivitas kerja yang memungkinkan perusahaan dapat bekerja secara lebih efisien. Kelima, penting proses penyadaran semua pihak untuk menjaga kestabilan dan keamanan dalam kerangka menjaga inklusivitas pembangunan. (Citta Maya/balipost)