Oleh I Gusti Ketut Widana
“Dicari Pemimpin Bali yang Sanggup Atasi Sampah dan Kemacetan”, demikian headline menarik, menggelitik sekaligus menukik pada problematik. Bahwa “Bali menghadapi persoalan akibat perkembangan ekonomi yang melaju kencang. Dua masalah paling mendesak yang wajib segera diatasi soal sampah dan kemacetan. Pemilihan kepala daerah melalui Pilkada, merupakan momentum krusial mencari pemimpin yang memiliki kesanggupan mengatasi kedua masalah tersebut” (BP, Senin, 5/8).
Sebenarnya, bagi orang kebanyakan (normal), yang berkeinginan hidup tenang, jauh dari perasaan tegang dan tidak suka masuk ke dalam ajang ‘perang’ (baca : polemik dan konflik kepentingan), hasrat mencalonkan diri untuk dipilih menjadi pemimpin bukanlah pilihan penting. Selain banyak pengorbanan (pikiran, tenaga, waktu, biaya, fasilitas, perasaan, dll), seringkali hasil perjuangannya tidak sesuai eksptetasi. Kecuali misalnya, untuk mengangkat derajat sosial di mata masyarakat, atau menaikkan tingkat perekonomian, yang sebenarnya bersifat sesaat selama masih menjabat. Itupun tak jarang memanfaatkan kesempatan (aji mumpung), diantaranya bertindak nekat alias korupsi seperti kerap terjadi di kalangan pejabat.
Ada piteket anak Bali mengilustrasikan sekaligus mengingatkan, menjadi sosok pemimpin itu tak ubahnya seperti “negen bebek muani” – memikul bebek jantan – ribut melulu, cuma dapat kotoran tanpa menghasilkan telur. Namun trend sekarang ini, lebih-lebih terkait pemilihan pemimpin bernuansa politik, seperti halnya Pilkada, apa yang namanya piteket, bahkan sasimbing (sindiran), sepertinya tak penting dipegang. Lalu, apa yang dipentingkan, atau pemimpin model bagaimana yang kini dibutuhkan di Bali dengan persoalan krusial menyangkut masalah sampah, selain kemacetan?. Tiada lain tipe pemimpin “Nyampah”, bukan “campah”.
Pemimpin yang menjadikan masa kepemimpinannya dipergunakan sepenuh hati untuk mengabdikan diri mengatasi masalah sampah, plus kemacetan lalu lintas. Kalau berharap mengatasi kemiskinan, agaknya masih jauh panggang dari api. Karena setiap keluarga sudah pasti terus fight berjuang meningkatkan kesejahteraan diri masing-masing, nyaris tanpa campur tangan pemimpin (pemerintah).
Sedangkan persoalan sampah dan kemacetan, itu sebuah fakta yang secara data dalam angka bisa dikonklusi penyebabnya, diestimasi/diprediksi solusinya, dan ditindaklanjuti penunantasannya. Tidak lagi bermain di tataran kebijakan dengan seabreg regulasi, tetapi mandul dalam eksekusi. Masyarakat lebih mengapresiasi, dan akan angkat topi jika para pemimpin Bali segera beraksi dan dengan sukses berhasil mengatasi masalah sampah, termasuk limbah kekroditan lalu lintas berupa kemacetan.
Jika itu terbukti, itulah pemimpin “Nyampah” namanya, sebaliknya bila gagal layak juga disebut pemimpin “campah”, tidak amanah, tidak berkah dan terus saja mewarisi masalah. Kalau saja (terutama untuk urusan sampah), para pemimpin seantero Bali paham bahwa kekuatan sosial berbasis komunal dan kolegial secara tradisional ada di tingkat desa (dinas dan adat), termasuk keberadaan desa di kota.
Ditambah kekayaan kearifan lokal seperti asas hidup gotong royong, suka duka, nyama braya, dan druwenang sareng, secara paternalistik mudah sekali digerakkan untuk turut peduli dan melakukan aksi penanganan sampah. Bila perlu, tentang penanganan sampah ini, dimasukkan di dalam awig-awig atau pararem lengkap dengan sanksi yang tentunya bersifat persuasif dan edukatif.
Terlebih untuk desa (dinas/perbekel) masing-masing didukung gelontoran dana desa dari pemerintah pusat dalam kisaran Rp600-900 juta/tahun. Sedangkan tiap desa adat mendapat BKK (Bantuan Keuangan Khusus) dari Pemprov Bali sebesar Rp300 juta/tahun. Jika memang para pemimpin, dari level atas hingga terbawah, punya niat, dan semangat (rasa jengah) untuk membersihkan wilayah Bali dari sampah, maka penuntasan masalahnya harus dimulai dari desa. Tentunya dengan mengalokasikan dana memadai, tidak habis hanya untuk urusan administrasi dan tunjangan perangkat desa (dinas-adat).
Apalagi krama Bali yang notabene beragama Hindu memiliki konsep ajaran Tri Hita Karana. Tidak cukup hanya dengan ‘nunas ica’ lewat haturan ritual sesaji di Pura (parahyangan), tetapi wajib juga ditunjukkan melalui gerakan aksi krama (pawongan) untuk peduli terhadap lingkungan (palemahan) agar bersih dari sampah. Jangan sampai nungkalik menjadi Tri Kite Karana (nganggoang kite) membuang sampah, termasuk semau gue berlalu lintas, berakibat kemacetan di mana-mana.
Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar