Oleh Mahir Eid Kamil
Program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM), yang diinisiasi oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. MBKM merupakan sebuah terobosan dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia yang bertujuan memberikan kebebasan dan fleksibilitas kepada mahasiswa dalam menentukan jalur pendidikan mereka.
Program ini berupaya menciptakan lulusan yang lebih siap menghadapi tantangan dunia kerja dan masyarakat dengan memperkenalkan berbagai pendekatan baru dalam proses pembelajaran. Salah satu aspek paling menonjol dari MBKM adalah fokusnya pada keterampilan praktis dan kesiapan kerja. Melalui program ini, mahasiswa diberikan kesempatan untuk terlibat dalam berbagai kegiatan di luar kampus, seperti magang, proyek desa, pertukaran pelajar, penelitian, dan kewirausahaan.
Sebagai salah satu mahasiswa dalam perguruan tinggi, minat-minat mahasiswa dalam berpartisipasi mengikuti kegiatan ini terbilang masih sangat kurang. Tentu saja ada yang melatarbelakangi hal tersebut.
Yang pertama adalah kurikulum antara perguruan tinggi dan kebutuhan industri itu sering kali tidak sinkron dengan apa yang terjadi di lapangan. Pasalnya banyak sekali alumni perguruan tinggi yang pernah mengikuti MBKM namun ketika lulus masih saja tetap sulit untuk mendapatkan pekerjaan.
Hal itu adalah sebuah bukti bahwasannya MBKM masih belum memiliki output yang menjamin yang akan langsung dirasakan efeknya oleh peserta-pesertanya.
Kemudian salah satu cara bagi perguruan tinggi dan pemerintah dalam menjaring peserta MBKM adalah melalui ekuivalensi yang bisa di konversi ke mata kuliah. Namun dengan iming-iming sebesar itupun masih banyak mahasiswa yang tidak berkeinginan mengikuti program ini, dikarenakan kerumitan dalam proses ekuivalensinya.
Yang terjadi di lapangan adalah mahasiswa yang mengikuti salah satu program MBKM justru seringkali mengalami kesulitan dalam upaya pengkonversian tersebut, yang pada akhirnya gagal di konversi, dan justru memperpanjang masa studinya. Hal ini disebabkan oleh kurangnya koordinasi antara regulasi perguruan tinggi dan regulasi fakultas dalam perguruan tinggi tersebut yang seringkali miskomunikasi, yang pada akhirnya berdampak kepada studi mahasiswa yang mengikuti program tersebut, dimana mereka sudah mengikuti program.
Akan tetapi ekuivalensinya tidak bisa dikonversikan. sehingga karena itulah mahasiswa berkeyakinan bahwa program ini kurang memberikan umpan balik bagi mahasiswa, selain hanya memberikan bantuan biaya. Yang mengakibatkan pemikiran mahasiswa bahwasannya program ini hanya akan memberikan bantuan biaya kepada peserta dan selebihnya tidak ada.
Itu adalah pemikiran yang sering ditemui terkait anggapan mahasiswa tentang MBKM. Padahal sebenarnya tujuan MBKM bukanlah bantuan beasiswa.
Yang ketiga, perguruan tinggi cenderung kurang dalam melakukan pengarahan kepada mahasiswa, karena bagi
perguruan tinggi itu sulit untuk bisa menjamah semua mahasiswa. Perguruan tinggipun akhirnya hanya memberikan kepercayaan kepada dosen-dosen yang dipercaya, kemudian dosen-dosen tersebut akan mengajak mahasiswa-mahasiswa terdekatnya untuk mengikuti dan memberikan pengarahan dengan baik kepada mahasiswa tersebut terkait program ini.
Sehingga program MBKM ini nampak seperti sebuah formalitas yang harus dijalankan setiap tahunnya. Perguruan tinggi sendiri harus merangkul semua mahasiswa dengan setara. Karena banyak juga sebenarnya mahasiswa yang ingin mengikuti program MBKM namun tidak mendapatkan pengarahan yang baik dari dosen-dosennya.
Ada pula dosen yang hanya mengajak beberapa mahasiswa yang “itu-itu saja” dalam setiap program. Sehingga ada kesenjangan di sana. Akibatnya, mahasiswa yang awalnya memiliki niat mengikuti MBKM namun kurang mendapatkan pengarahan merekabpun mengurungkan niatnya.
Ini adalah suatu masalah yang harus diselesaikan oleh perguruan tinggi, agar program yang berasal dari pemerintah itu tidak hanya berlangsung sebagai formalitas karena ada regulasi. Akan tetapi, bagaimana supaya program tersebut memang benar-benar merata. Dan mampu dirasakan keuntungannya oleh mahasiswa sehingga mahasiswa bisa berlomba lomba mengikuti program MBKM ini.
Kampus harus membuat proses ekuivalensi mata kuliah menjadi lebih sederhana, agar mahasiswa tidak lagi merasa kesulitan dalam pengonversian kegiatan MBKM ke dalam kredit akademik, perguruan tinggi harus aktif
memberikan pengarahan yang merata kepada seluruh mahasiswa tanpa terkecuali, dosenpun perlu diberikan pelatihan khusus agar dapat bersikap adil kepada mahasiswa, bukan hanya kepada sekelompok mahasiswa tertentu.
Terakhir, diperlukan upaya untuk mengubah persepsi mahasiswa mengenai MBKM. Program ini harus dilihat sebagai peluang besar untuk mengembangkan diri, bukan justru menganggap sebagai formalitas atau cara untuk mendapatkan bantuan biaya. Ini bukan hanya tentang memenuhi regulasi, tetapi tentang menciptakan
generasi muda yang siap menghadapi tantangan dunia kerja dan memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan bangsa.
Penulis, Pers Mahasiswa Visi Undhiksa Singaraja