DENPASAR, BALIPOST.com – Anggota DPR RI yang juga peraih suara terbanyak di Bali, dalam pemilihan legislatif beberapa waktu lalu, I Nyoman Parta, hadir di Pengadilan Tipikor Denpasar, Kamis (15/8). Pria asal Gianyar tersebut menjadi ahli dalam kasus OTT dengan terdakwa I Ketut Riana, yang merupakan Bendesa Berawa.
Dia dihadirkan pihak terdakwa melalui kuasa hukumnya I Gede Pasek Suardika dkk. Di hadapan majelis hakim yang diketuai Gede Putra Astawa, Parta menjadi ahli karena dia menjadi Ketua Pansus Ranperda Desa Adat 2019 lalu.
Ada beberapa hal yang disampaikan ahli, terkait pertanyaan yang diajukan pihak kuasa hukum terdakwa. Salah satunya dijelaskan bahwa Bendesa tidak bertanggung jawab pada MDA dan juga dijelaskan bahwa belum ada aturan yang menegaskan bahwa Bendesa menerima gaji.
Dia menjelaskan, saat pansus Perda Desa Adat. Salah satunya Desa Adat harus mendapatkan perlindungan dan Desa Adat memiliki hak otonom. Desa adat diatur penuh oleh awig-awig.
Pasek menanyakan soal MDA atau Majelis Desa Adat. Nyoman Parta mengatakan bahwa itu adalah semacam alat komunikasinya antar desa adat dalam bentuk forum. “Intinya di sana ada sepirit untuk membuat semacam forum bendesa adat. MDA bukan atasan desa adat, namun itu forum,” jelasnya.
Mengapa ada SK MDA jika ada pemilihan bendesa adat? Di aturan tidak ada mesti ada SK MDA. MDA bukan penentu bendesa adat. Tetapi bendesa adat ditentukan oleh desa pakraman (adat) dan dilantik (mejaya-jaya) secara niskala di desa di mana bendesa adat dikukuhkan.
Lantas, terkait pemerintah memberi anggaran? Parta menjelaskan fungsi Desa Adat di Bali sangat luar biasa. Perannya juga sangat luar biasa. Selain merawat adat budaya, dan adat istiadat, desa adat juga membantu pemerintah.
“Karena besarnya peran desa adat, maka pemerintah hadir. Pemerintah menganggarkan dana untuk desa adat,” jelasnya sembari dahulu bahwa dana yang diberikan pemerintah berbentuk dana hibah.
Ahli Nyoman Parta juga menekankan bahwa Bendesa Adat bukanlah bawahan gubernur karena gubernur tidak pernah merekrut bendesa.
Kembali terkait Perda, dijelaskan ahli, itu karena ada aspirasi biar bendesa mendapatkan gaji. Namun pansus menyatakan itu tidak pas. Karena bendesa bukan aparatur sipil negara.
Desa adat, kata Parta, juga punya sumber penghasilan. Uang ada datang dari desa adat sendiri atas hasil usaha desa adat, misal punya LPD, punya aset maupun ada tempat wisata.
Namun demikian, jaksa menilai bahwa Pasal 5 di Perda disebut bahwa Desa Adat adalah subjek hukum dalam sistem pemerintahan provinsi. Yakni melakasanakan urusan pemerintah terkait dengan bidang adat, tradisi, budaya, sosial religius dan kearifan lokal. Sehingga prajuru desa adat diberikan hak berupa patias atau olih-olihan. Patias adalah imbalan berupa uang. Maka, kata jaksa, itu adalag gaji karena esensi gaji atau upah adalah hak.
Ahli lainnya yakni Prof. Dr. Suparji, SH., MH Ahli Pidana Universitas Al Azhar Indonesia. Dia ditanya terkait mana masuk klasifikasi ranah pidana umum dan juga pidana khusus. Ahli juga ditanya terkait unsur melawan hukum yang adalah ada aspek legalitas yang dilanggar. Ahli juga tidak membenarkan melibatkan polisi militer dalam OTT Bendesa.
Ahli lainnya adalah Dr. Dian Puji N. Simatupang, ahli keuangan negara UI dan juga saksi Wayan Mudita, selalu Bendesa Suwug, Kecamatan Sawan, Buleleng. (Miasa/balipost)