Suasana Sarasehan FSBJ VI di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Denpasar. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Berbagai argumen dari narasumber, praktisi seni hingga para peserta mewarnai acara timbang rasa (serasehan) Festival Seni Bali Jani (FSBJ) VI Tahun 2024 di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Denpasar, Kamis (15/8). Bermula dari “hujan” pertanyaan kritis oleh peserta yang menanyakan perihal perjalanan ekosistem seni dalam FSBJ, serta mekanisme seniman modern dan seniman lokal untuk menjaga eksistensi kesenian Bali ke depannya.

Sebab, Bali memiliki festival seni tradisi dan festival seni modern yang sama-sama memiliki nilai. Hal itu penting dibicarakan, sehingga bisa berjalan bersama.

Prof. Dr. I Made Bandem dan Dr. I Wayan Artika yang tampil menjadi narasumber kemudian menjelaskan dengan gamblang. Artika mengatakan penyelenggaraan festival tak hanya pada festival, tetapi juga sebelum festival.

Melakukan pendataan merupakan cara yang penting untuk pembangunan ekosistem. Ekosistem itu, lebih kepada gagasan, tetapi untuk urusan teknis mesti ditindak lanjuti kemudian. “Pelaksanaan PKB berperan besar dalam menjamin tumbuhnya ekosistem kesenian di Bali, seperti sekaa,” ujar Artika.

Baca juga:  PPDB SMA/SMK Digelar Pertengahan Juni, Ini 3 Jalur dan Syaratnya

Peran ini tampak ketika PKB telah mampu menjadi motivator dan generator berkesenain yang menjadi daya hidup yang bermuara pada arena tahunan PKB. “PKB adalah model hubungan yang paling ideal antara festival dan keberlangsungan ekosistem kesenian,” kata, akademisi Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) ini.

Pembangunan ekosistem seni harus menjadi program festival. Bukan hanya festivalnya yang dipentingkan tetapi pembangunan komunitas jauh sebelum festival dilaksanakan.

Festival-festival yang menjamur saat ini belum sampai kepada pembangunan ekosistem seni. Festival-festival itu baru sebatas menyediakan arena bagi kekayaan seni yang sudah tumbuh di ekosistemnya.

Walau demikian, Artika menjelaskan festival-festival seni di Bali belakangan ini dapat dilihat secara kritis. Pada umumnya ide-ide festival tidak sampai menjangkau kehidupan ekosistem seni.

Baca juga:  Desa Adat Gelgel Putuskan Gelar Lomba Ogoh-ogoh

Festival seolah hanya ingin menghadirkan kesenian tanpa harus terlibat dalam memelihara ekosistemnya. “Ide untuk membangun festival, lebih diutamakan ketimbang usaha membangun ekosistem pendukung festival. Jika paradigma ini dipilih maka festival tidak dapat membantu tumbuhnya ekosistem kesenian,” sebutnya.

Sementara Prof. Made Bandem berpendapat melakukan sebuah festival perlu panggung teater dengan berbagai bentuk. Ada panggung tapal kuda, memakai ekosistem, ada lighting, ada kamera yang semua itu untuk mensukseskan pementasan. Ekosistem lain, ada sekaa yang pentas di desa, pentas di kecamatan, dan kabupaten lalu pentas di Art Center.

Dalam sarasehan bertajuk “Peran Festival dalam Upaya Membangun Keberlanjutan Ekosistem Kesenian”, kurator Pesta Kesenian Bali (PKB) Prof. Bandem memaparkan peran festival bagi ekosistem kesenian meliputi, seniman itu sendiri, masyarakat, dan penyelenggara festival. Lanjut Bandem, festival merangsang para seniman untuk berkreativitas.

Baca juga:  Program Antipremanisme

Seperti diketahui, FSBJ lahir dari buah pemikiran Ni Putu Putri Suastini atau dikenal dengan nama Putri Koster.

Untuk pelaksanaan FSBJ ke-VI ini, Putri Koster sangat menyayangkan keberadaanya digabung dengan dua event lain, yakni Bali Digital Festival dan Pameran Pembangunan. “Semuanya berebut di ruang sempit di Art Centre. Padalah Bali ini luas,” kata Putri Koster, dalam diskusi timbang rasa.

Semestinya, menurut dia, FSBJ sebagai wadah apresiasi seniman modern tetap dikhususkan, baik dari segi tempat, waktu dan anggarannya. Perempuan yang dikenal multitalenta ini pun sedikit kecewa karena anggaran FSBJ dipangkas karena alasan pemerintah tidak punya uang. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN