DENPASAR, BALIPOST.com – Sektor pertanian Bali jadi sektor termarjinalkan. Akademisi Bali minta pemimpin di legislatif yang baru dilantik dan eksekutif, bupati/wali kota dan gubernur di Bali yang saat ini bersaing di Pilkada membangun frekuensi yang sama menyelamatkan dan mengembangkan pertanian.

Profesor Gede Sedana, Rektor Universitas Dwijendra, di acara Dialog Merah Putih Bali Era Baru, Rabu (21/8) mengatakan pertanian Bali harus diselamatkan dari maraknya alih fungsi lahan. Undang undang sudah ada namun sampai di daerah berbenturan dengan kebijakan bupati. Akhirnya lahan sawah basah juga beralih fungsi.

Baca juga:  Pemilik Lokalisasi di Kuta Selatan Didatangi PPNS Satpol PP

Sementara itu akademisi Unud, Profesor Luh Kartini menyoroti makin kurangnya ketersediaan air. Banyak sungai yang kering dan hutan terkikis.

Bali sudah memiliki Perda RTRW, aturannya hanya dibolehkan alih fungsi lahan sebesar 10 persen, sementara di lapangan bisa mencapai 1.000 hektare per tahun. Terhadap hal ini Kartini mengaku sedih.

Di sinilah perlunya komitmen bersama menegakkan aturan demi kedaulatan pangan dan Bali dalam mengantisipasi perubahan iklim.

Baca juga:  Tambahan Kasus COVID-19 Nasional Masih Lampaui 27 Ribu Orang, Kematian Pecahkan Rekor

Sementara itu Dosen FPB Undwi, Dr. I Nengah Surata Adnyana, mengatakan alih fungsi sektor pertanian terjadi karena pendapatan petani sangat kecil dibandingkan sektor jasa dan industri.

Pendapatan pertanian hanya Rp 1,5 juta sektor jasa sampai Rp 3,5 juta per bulan.

Jika pertanian ingin dipertahankan solusinya yakni terapkan pertanian organik dan adanya kebijakan pemerintah agar lahan dan ketersediaan air terjamin. Kata kuncinya buatkan sektor pertanian ini berpenghasilan dan berkelanjutan. (Sueca/balipost)

Baca juga:  Aktivitas Penerbangan Bandara Ngurah Rai Masih Normal, AirNav Siaga Penuh

Tonton selengkapnya di video

BAGIKAN