Petugas mengecek persediaan air bersih. (BP/Istimewa)

Terkait berita ini ada revisi mengenai jabatan dari I Made Iwan Dewantama. Tertulis sebelumnya, Manager Conservation International Indonesia.

Berikut berita yang telah direvisi

DENPASAR, BALIPOST.com – Sektor pariwisata Bali terus disoroti berbagai komponen. Kini ada trend membuka hutan konservasi untuk agrowisata. Jika hutan digunakan untuk tujuan pariwisata maka akan memberi dampak negatif. Hal ini akan membuat Bali bertambah hancur. Krisis air akan terjadi lebih parah dan cepat di Bali.

Pariwisata Bali kini tidak baik-baik saja. “Kita kemudian membuka wisata dengan eksploitasi hutan, di mana logikanya. Hancur-hancuran kita, alih fungsi lahan sangat parah, sampah parah, air bermasalah, apa yang bagus dari Bali dengan mengandalkan pariwisata ini. Dengan pariwisata ini memang memberikan ekonomi mayoritas tapi kalau masa depan Bali terancam bagaimana?” ujar aktivis lingkungan, I Made Iwan Dewantama, Senin (26/8).

Berawal dari negara mengambil lahan yang begitu luas sepihak untuk menjadi kawasan hutan. Proses ini yang melahirkan UU nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan.

Negara mengklaim banyak kawasan menjadi kawasan hutan. “Itu kewenangan negara mau ngapain saja di dalam kawasan hutan. Bagaimana negara mampu mengelola sumber daya penting untuk masyarakat dan negara,” ujar mantan Manager Konservasi Indonesia ini.

Baca juga:  Segini, Jumlah Kontak Erat 3 Pasien Positif COVID-19 di Bali

Masyarakat memberi kepercayaan pada negara untuk mengelola hutan. Namun dalam perjalannnya, negata  tidak bisa mengelola hutan dengan baik.

Masyarakat dalam kawasan hutan kemudian disingkirkan. Hal itulah yang menjadi persoalan hak asasi manusia yang kemudian ditabrak dan menimbulkan banyak kasus.

Misalnya di Bali di Bangli, Kintamani, Tamblingan. Dalam konteks itu, secara normatif diatur dalam UU bahwa kawasan konservasi dimungkinkan digunakan untuk wisata namun terbatas.

“Misalnya konsesinya 10 ha, misalnya hanya boleh dibangun 10 -20 persen, yang lainnya harus dibiarkan. Sementara negara maunya kan hutan tetap terjaga tapi ada uang masuk karena negara butuh uang tapi persoalannya adalah ada penyingkiran hak hak masyarakat terhadap kawasan hutan,” ujar Iwan yang kini aktif di Yayasan Abdi Bumi.

Menurutnya jika negara belum mampu membuktikan kemampuannya mengelola kawasan hutan dengan baik, maka dibuka untuk wisata menjadi tidak benar. “Kalau pun pemerintah serius, kenapa tidak diberikan pengusahaan wisata itu kepada masyarakat, kenapa harus investor yang masuk, walaupun di UU boleh masyarakat mengajukan izin tapi kenyataannya kan tidak pernah masyarakat diberi ruang itu,” ujarnya.

Pengelolaan hutan menjadi wisata diatur UU dan secara normatif ada upaya menjaga hutan, namun ada kebutuhan uang didalamnya. “Di situ kita paham tapi kemudian ada  unsur yang menafikkan masyarakat dan kemudian investasi itu merugikan masyarakat dan hutan, ya .. kita jadinya tidak percaya dengan pemerintah,” tukasnya.

Baca juga:  Delapan Kabupaten/Kota di Bali Masuk Zona Merah COVID-19, Bali Diminta Pertimbangkan "Lockdown"

Pelibatan masyarakat lokal, LSM, akademisi diperlukan untuk mengelola hutan agar dapat tetap terjaga lingkungannya dan masyarakat lokal mendapatkan manfaatnya secara ekonomi. “Buka secara publik apa yang akan dibangun di situ, siapa yang akan melakukan dan akan melakukan apa. Sejauh mana masyarakat diuntungkan dan sejauh mana hutan itu dipastikan akan dijaga,” jelas Iwan.

Menurutnya tutupan hutan di Bali belum ideal yang seharusnya minimal 30 persen. Data pemerintah yang menyebut luas tutupan hutan 23 persen pun ia ragukan karena banyak kawasan hutan di Bali yang tidak ada pohonnya.

“Riilnya tidak segitu (23 persen) karena ada kawasan hutan seperti di Batur tidak ada pohon atau sedikit pohon tapi itu kawasan hutan. Termasuk juga di lereng Gunung Agung, di sisi Kubu, di sisi timur laut itu kawasan hutan tapi pohonnya sedikit sekali karena memang bentang alamnya tidak sesuai dengan bayangan kita hutan yang rimbun, jadi ada kawasan hutan yang tidak ada pohon sehingga dia bukan berfungsi hutan,” ungkapnya.

Baca juga:  Dulang Suara Rakyat di Pilgub Bali, Reklamasi Teluk Benoa Jadi "Komoditi" Politik

Dengan luas hutan di Bali yang tidak ideal, sehingga urgen hutan yang ada saat ini harus dijaga serius. Pastikan tidak mengalami perambahan dan tidak berkurang lagi luasannya dan ditambah pohonnya.

Bali pulau kecil sangat sensitif dengan perubahan hutan, karena fungsi hutan adalah sebagai daerah resapan. Jika daerah resapan diganggu maka implikasinya kemana-mana dan kekurangan air.

Kawasan hutan yang ada dijaga dan diperluas dengan hutan-hutan adat yang selama ini belum menjadi kawasan hutan. “Kan ada hutan hutan yang milik masyarakat adat, bahkan itu bisa dijadikan hutan adat yang seharusnya bukan menjadi kawasan hutan. Ini kan juga menjadi masalah karena dalam UU kehutanan itu kan segala sesuatu yang ada didalam kawasan hutan menjadi bagian dari hutan negara. Jika disebut hutan maka klaimnya adalah milik negara padahal UU itu sudah digugat dan MK sudah mengatakan hutan adat harus dilepaskan dari hutan negara,” imbuhnya.

Selain hutan adat, ada juga kebun milik masyarakat seperti kebun kopi, cengkeh agar digunakan sebesar besarnya untuk masyarakat dengan diberikan insentif sehingga hutan dan kebun itu tetap terjaga dan masyarakat mendapat hak ekonomi. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN