Syahrul Kirom, M.Phil. (BP/Istimewa)

Oleh Syahrul Kirom, M.Phil

Tanda-tanda gempa megathrust mulai terjadi, fakta ini nampak terjadi  pada gempa bumi bermagnitudo 5,8 mengguncang terjadi di 95 km barat daya dari Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Senin (26/8) pukul 19.57 WIB. Berdasarkan laporan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gempa terjadi pada kedalaman 30 km dengan titik koordinat 8.78 Lintang Selatan dan 110.27 Bujur Timur.

Meskipun gempa ini cukup kuat, BMKG memastikan bahwa gempa tersebut tidak berpotensi menimbulkan tsunami. Masyarakat diimbau untuk tetap tenang namun waspada terhadap kemungkinan adanya gempa susulan yang mungkin terjadi di waktu mendatang.

Peristiwa gempa bumi yang terjadi di Gunung Kidul Provinsi Yogyakarta, itu dalam konteks pemahaman orang Jawa, perlu upaya membangun kesadaran dalam menjaga etika lingkungan dan etika alam sebagai sebuah paradigma baru dalam memahami alam, Orang Jawa sangat menggantungkan sekali dengan alam semesta ini, termasuk dengan sumber air, sawah, perkebunan, dan pegunungan. Orang Jawa dalam bertindak dan berperilaku juga sangat dipengaruhi paradigma kosmologi. Karena itu, agar kosmos ini bisa berjalan secara teratur. Masyarakat Jawa  diharapkan bisa melestarikan dan menjaga alam dan lingkungan sekitarnya dengan baik.

Franz Magnis Suseno dalam karyanya “Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa” (1984), menyatakan bahwa manusia Jawa adalah mikrokosmos (jagad cilik) yang keberadaanya sangat  tergantung dengan makrokosmos (jagad gedhe), itu semua memberikan gambaran secara eksplisit, bahwa masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa dilepaskan dengan alam. Makrokosmos atau alam numinus itu merupakan petunjuk bagi orang Jawa sebagai penghayatan atas eksistensi di dunia.

Baca juga:  Insentif Fiskal Rewards bagi Daerah Berkinerja Baik

Prinsip-prinsip etis perilaku orang Jawa adalah terletak pada etika keselarasan alam atau etika kosmologi Jawa. Pandangan orang Jawa terhadap keselarasan alam itu mengandaikan suatu ketergantungan pada keselamatan diri, kesejahteraan, kemakmuran, dan ketentraman. maka untuk menjamin keselamatan orang Jawa, keselamatan disini bisa dinterpretasikan secara luas, baik dari segi sosial, ekonomi, budaya dan bahkan  perlindungan atas bencana alam. Untuk menjaga keselamatan diri, orang Jawa juga harus melestarikan lingkungan dan bahkan menjaga alam semesta ini.

Pandangan orang Jawa terhadap lingkungan dan alam semesta ini sangat positif, mereka memanfaatkan alam misalnya mengambil kayu, air, buah-buahan, secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi. Hal ini sesuai dengan paradigma orang-orang Jawa yang selalu berprinsip pada hidup sederhana , tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka. Karena itu, mereka sangat memelihara betul akan eksistensi alam semesta ini sebaik-baiknya.

Berpijak dari hal itu, orang –orang Jawa dalam berperilaku sangat mempertimbangkan moralitas pada kosmos. Karena itu, masyarakat Jawa yang memiliki kaidah norma dan moral dalam membangun  keselarasan alam ini perlu ditanamkan kembali sebagai sebuah upaya melakukan preventifisasi terjadinya bencana banjir dengan membangun pemahaman terhadap etika kosmologi Jawa. Ada beberapa faktor yang perlu dilakukan oleh masyarakat Jawa.

Baca juga:  Tsunami Selat Sunda, 20 Orang Tewas

Pertama,  prinsip hormat terhadap alam dan keselarasan itu perlu dilakukan kembali. Kosmos merupakan tumpuan utama dari masyarakat Jawa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Karena itu, di Jawa sendiri, banyak masyarakat Jawa yang melakukan ritual-ritual seperti slametan, atau istilah Jawanya adalah sedekah bumi, dengan tujuan untuk menjaga keharmonisan alam dan bahkan untuk menciptakan kesejahteraan bagi orang Jawa.

Kedua, etika kosmologi Jawa, keselarasan kosmos juga mengandaikan sangat tergantung dengan keselamatan diri masyarakat Jawa. maka untuk menjamin keselamatan masyarakat Jawa, keselamatan disini bisa dinterpretasikan secara luas, baik dari segi sosial, ekonomi, budaya dan bahkan  perlindungan atas bencana gempa bumi.

Masyarakat Jawa, yang sebagian besar mata pencahariaan, sebagai petani tradisional maka tanah mereka harus diperlakukan dan dilestarikan sebaik-baiknya. Dalam pengolahan lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka hanya berdasarkan musim saja yaitu penghujan dan kemarau. Masyarakat Jawa sangat menyadari isi dan kekayaan alam, bisa menyebabkan habis dan itu semua tidak tergantung pada pemakainya. Karena itu, orang Jawa diharapkan bisa menahan diri dari sifat rakus dan tamak, melainkan sikap mawas diri terhadap segala keinginan manusia harus dibatasi. Prinsip rasa dan batin bagi masyarakat Jawa harus seimbang dengan kosmos dengan tujuan untuk menjaga keharmonisan alam semesta ini dari segala musibah gempa bumi.

Baca juga:  Bali "Dikepung" Bencana, Dari Hidrometeorologi hingga Gempa Megathrust Berpotensi Tsunami

Sementara itu, dalam semboyan “Memayung Hayuning Bawono”, menyiratkan pada orang Jawa untuk selalu memperindah alam ini. Dengan cara melakukan kebersihan lingkungan yang kotor, dan memperbaiki alam yang rusak, atau mungkin hutan yang gundul untuk ditanami kembali. Ontologi memayung hayuni bawono, itu sebagai upaya bagaimana orang-orang melindungi alam dan menjaga alam agar lebih baik dan terlihat indah,  agar tidak terjadi bencana banjir dan tanah longsor. Sehingga terciptalah kententraman dan batin bagi orang Jawa.

Karena itu, orang Jawa harus menyadari akan pentingnya menjaga kosmos ini sebagai bentuk kesetiaan dalam proses pemeliharaan alam. Hutan-hutan dan tanah, minyak bumi dan sawah itu harus diperhatikan dengan cara mengurangi sikap eksploitatif terhadap hutan dan sumber daya alam yang berlebihan. Sehingga dengan selalu menggunakan paradigma untuk menghormati nilai-nilai dalam etika kosmologi Jawa itulah, maka bencana gempa bumi dapat dicegah dan semua tergantung pada perhatian serta kepedulian dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mengantisipasi gempa bumi dan tanah longsor di Gunung Kidul, Provinsi Yogyakarta. Semoga.

Penulis, Dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

BAGIKAN