Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Kata Mahatma Gandhi, “dunia ini sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh makhluk,
kecuali keserakahan manusia”. Ini artinya, segala doa permohonan yang mengiringi prosesi ritual sebesar apa pun, tak terkecuali Tumpek Bubuh, dipastikan tidak akan berpengaruh signifikan jika manusianya tetap serakah, seenaknya merambah lalu menjamah sumber daya alam yang tumbuh di atas tanah — bumi.

Karenanya, Tumpek Bubuh itu bukan sejenis permainan sulap, hanya dengan mengucap bim salabim terlihat apa yang diinginkan. Analogi ini mengingatkan pada doa (sehe) saat mantenin pepohonnan: kaki-kaki, nini-nini, malih selae dina galungan, mabuah apang nged nged nged. Maknanya, kakek-kakek, nenek-nenek (sebutan hormat pada makhluk hidup pendahulu: tumbuh-tumbuhan), agar cepat berbuah lebat mengingat hari suci Galungan sudah dekat, untuk nantinya dihaturkan saat piodalan jagat tersebut.

Sesuai namanya, sarana pokok yang dihaturkan ketika Tumpek Bubuh pun berupa sajian bubuh (bubur) dua warna, yaitu bubur merah sebagai simbol purusa, dan bubur putih lambang pradana. Penyatuan kedua unsur (jiwani dan bendani/materi) ini menyebabkan lahirnya kehidupan. Dikupas lebih jauh, kata bubuh atau bubur
adalah perubahan dari pengucapan kata Bhubhur.

Baca juga:  Tumpek Pangatag, ”Atag” Umat Tanam Pohon

Bhu artinya bumi (yang ada), dan Bhur berarti alam bawah yang tiada lain bumi itu sendiri. Sehingga kata Bhubhur, kemudian disimbolisasikan dengan bubur (bubuh) mengandung pesan agar penghuni bumi, khususnya manusia sebagai makhluk cerdas (homo sapiens) sekaligus beriman (homo religius) dapat menjaga harmonisasi alam di muka bumi.

Amanat teologis dan filosofisnya, saat rerainan Tumpek Bubuh umat tidak cukup hanya dengan “ngaturang banten bubuh” kehadapan Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Dewa Sangkara (dewaning sarwa tumuwuh), seraya mengucap doa/sehe seperti disebut di atas, lantas berharap dapat meniru aksi pemain sulap — abrakadabra — seketika pepohonan berbuah lebat.

Bagaimanapun, ritual itu tetap berada di tataran “simala” — simbol yang mengandung makna untuk kemudian wajib menjadi laksana. Jika tidak terealisasi dalam
laksana (aksi nyata), aktivitas ritual itu termasuk Tumpek Bubuh tak ubahnya seperti makan buah simalakama. Kalau tidak dijalankan salah karena beryadnya merupakan kewajiban.

Namun ketika sudah dilaksanakan seperti tidak membuahkan hasil nyata, lantaran terus saja terjebak ke dalam ritualistik simbolik ekspresif.

Baca juga:  Bali, Pariwisata, dan Kebhinekaan

Oleh karena itu, pesan mendasar ritual Tumpek Bubuh yang patut dilaksanakan adalah, agar umat dengan giat merawat, memelihara, menjaga dan kemudian melestarikan alam beserta sumber daya hayatinya demi keberlangsungan hidup segenap makhluk. Bentuk konkritnya antara lain: tidak melakukan penebangan/pengrusakan hutan secara liar (illegal logging), mengadakan penanaman kembali lahan-lahan kritis; peremajaan hutan, reboisasi, penerapan sistem sengkedan pada lereng bukit/pegunungan, mencegah terjadinya pembakaran/kebakaran hutan dan lain sebagainya.

Termasuk tidak lagi mengeksploitasi fungsi hutan (konservasi) untuk kepentingan pariwisata, dengan dalih
membuka destinasi baru berlabel agrowisata atau
ekopark, yang hanya akan memperparah krisis air di Bali (BP, Selasa, 27/8).

Jika krisis air terus terjadi, tak keliru pernyataan kelompok pecinta lingkungan hidup, Greenpeace: “Jika pohon terakhir telah dicabut, ikan terakhir telah ditangkap, sungai terakhir telah tercemar, dan aliran air terakhir tidak lagi mengalir, maka kita akan sadar bahwa manusia tidak dapat memakan uang”.

Sekaligus dianggap sebagai pencuri isi bumi, seperti disuratkan kitab Bhagawadgita, III, 12; “ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi yadnya (dalam arti berkorban untuk kelestarian alam), sebenarnya adalah pencuri. Taruhannya, kepentingan hajat hidup segenap makhluk terlebih generasi nanti yang sejatinya adalah pemilik bumi ini.

Baca juga:  Upacara Nyiramang Layon IB Raka Wiryanatha

Sementara penghuni bumi sekarang ini tugasnya hanya menjagabtitipan agar kelak bisa juga dinikmati anak cucu– penerus generasi manusia. Melalui ritual suci Tumpek Bubuh yang diperingati setiap Saniscara Kliwon wuku Wariga (210 hari sekali) umat Hindu diingatkan bahwa soal kelestarian alam ini tidak hanya menyangkut urusan kesejahteraan semata, lebih jauh lagi berhubungan dengan kebahagiaan dan kedamaian
hidup manusia di dunia, sebagaimana dinyatakan
kitab Yayur Weda – 36- 17 : Dyauh santir antariksam santih prthiwi santir, apah santir osadhayah santih, wanaspatayah santir wiswe dewah santir brahma santih, sarwan santih santir ewa santih sa ma santir edhi (Damai di langit, damai di angkasa, damai di bumi, damai di air, damai pada tumbuh-tumbuhan, damai pada pepohonan, damai bagi para Dewa, damailah dalam Tuhan, semoga kedamaian seperti itu hamba peroleh.

Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN