Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A. (BP/Istimewa)

Oleh Ni Made Ratminingsih

Kata revolusi mengandung makna perubahan cepat dan mendasar. Tentu perubahan yang dimaksudkan adalah perubahan untuk menuju pada kemajuan dan peradaban seperti yang dicita-citakan bangsa Indonesia. Dalam proses merevolusi mental, filsafat idealisme menjadi dasar untuk menentukan ke arah mana revolusi akan diarahkan.

Filsafat idealisme lebih menekankan pada pentingnya nilai-nilai luhur dan prinsip-prinsip moral yang menjadi dasar fundamental dalam berperilaku sebagai bangsa dan negara. Dalam hal ini, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam sila-sila Pancasila menjadi ideologi bangsa yang patut menjadi acuan dalam merevolusi mental.

Dalam ideologi Pancasila, jelas termaktub pada sila pertama bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Artinya bahwa setiap agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia dihargai. Kecenderungan seperti memaksakan agama dan kepercayaan kepada kelompok minoritas dan tidak toleransi pada mereka yang beragama lain tentu tidak sesuai dengan sila pertama.

Baca juga:  Belajar Genial Lewat Koran

Sila kedua yang menjadi ideologi adalah Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila ini menegaskan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan martabat antar manusia.  Salah satu masalah yang menyebabkan manusia mengalami ketidakadilan dalam berbagai hal adalah kemiskinan, seperti kesempatan memperoleh pendidikan dan keterbatasan dalam mendapatkan akses pekerjaan.  Kasus kemiskinan terjadi karena banyak dana dikorupsi yang menggerogoti sektor perekonomian dan mengakibatkan bangsa ini lamban mencapai kemajuan.

Sikap feudal bahwa kekuasaan ada pada golongan tertentu yang awalnya ingin diberantas justru sekarang ditumbuhkan dan dikembangkan. Terbukti dari adanya penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan golongan.

Undang-undang pun bisa diubah-ubah dengan berkolusi demi memperlancar dan meloloskan keluarga dan kroni untuk menjadi apa yang si penguasa mau. Sikap korupsi dan feudal merupakan sikap yang tidak beradab karena mengganggu kestabilan ekonomi, menghambat pembangunan, dan menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat, sehingga masyarakat menjadi tidak percaya kepada pemerintah dan dapat menjadi pemicu konflik sosial dan politik.

Baca juga:  Mengubah Mental PNS Jadi Mental "Startup"

Sila ketiga Persatuan Indonesia yang menjadi ideologi bangsa juga penuh dengan tantangan, yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan disintegritas. Bangsa Indonesia yang majemuk terdiri atas berbagai suku, agama, kepercayaan, budaya, dan bahasa bila tidak diurus dengan baik oleh pemerintah dan bangsanya sendiri dengan solidaritas tinggi, bangsa ini mudah pecah dan berkonflik.

Kasus diskriminasi dan intoleransi misalnya sering menjadi pemicu konflik sosial antaragama yang dapat berujung pada kekerasan. Polarisasi politik seperti yang terjadi baru-baru ini sebelum Pemilu juga dapat memicu ketegangan sosial dan perpecahan, sehingga membahayakan persatuan dan kesatuan yang menjadi tujuan utama bangsa ini.

Mengacu pada sila keempat yang menekankan pada demokrasi yakni pemerintahan yang dipilih oleh rakyat, yang menjadi pilar sistem pemerintahan belakangan juga goyah, karena oknum-oknum pemimpinnya ingin mengubah “wajah” pemerintahan menjadi semacam dinasti (kerajaan), karena haus kekuasaan. Fenomena ini menciptakan lingkungan politik yang tertutup, yang sering menempatkan jabatan-jabatan strategis jatuh pada keluarga atau kerabat dekat serta kroni-kroni bukan berdasarkan meritokrasi.

Baca juga:  Kewajiban Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi

Sila kelima Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia menegaskan bahwa pembangunan dilaksanakan secara merata supaya tidak ada kesenjangan antar daerah. Kenyataannya, masih banyak daerah yang masih tertinggal dan tidak merata pembangunannya, sehingga kesejahteraan belum dinikmati secara berkeadilan oleh masyarakat.

Berdasarkan realitas tersebut, dalam konteks pembangunan Indonesia yang menganut ideologi Pancasila, revolusi mental berarti revitalisasi nilai-nilai luhur dari setiap sila dari Pancasila bukan hanya sekadar dalam wacana, pemahaman, dan penghayatan, namun yang lebih penting adalah pengamalannya dalam aksi nyata. Perubahan sejati hanya akan terjadi jika setiap individu mampu menginternalisasi nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.

Penulis, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha

BAGIKAN