Beberapa buruh tani beristirahat sambil melihat bangunan villa di wilayah Berawa, Badung. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Wacana moratorium atau penghentian pembangunan akomodasi pariwisata di Bali kembali muncul dan lebih spesifik pada pembangunan vila di atas lahan sawah. Tujuannya untuk mencegah alih fungsi lahan, terutama lahan pertanian di Bali yang semakin menyempit. Moratorium pembangunan vila diminta jangan hanya wacana.

Guru Besar Pertanian Unud, Prof. Dr. Ir. I Nyoman Sucipta, MP., mengatakan, moratorium pembangunan vila untuk cegah alih fungsi lahan di Bali jangan hanya sekedar wacana-wacana. Pasalnya, moratorium ini akan memainkan peran kunci dalam melindungi sistem irigasi Subak, yang merupakan salah satu warisan budaya paling berharga di Bali.

“Moratorium ini mendukung pelestarian Subak dengan membatasi pembangunan di lahan-lahan yang berada di bawah sistem irigasi tersebut. Ini membantu menjaga fungsi sosial Subak, di mana para petani bekerja secara kolektif dan demokratis untuk mengatur distribusi air. Selain itu, pelestarian Subak juga penting dalam menjaga keberlanjutan ekosistem pertanian di Bali, karena Subak mendorong penggunaan air yang efisien dan ramah lingkungan,” ujar Prof. Sucipta, Kamis (5/9).

Mantan Ketua Komisi III DPRD Provinsi Bali, Anak Agung Ngurah Adhi Ardhana mengatakan, sudah terdapat peraturan daerah yang dengan tegas mengatur mengenai tata ruang.

Baca juga:  Kapolsek Benarkan Penangkapan Pembunuh Wanita di Malam Tahun Baru

Pada RTRW-P Bali sebagai arahan tata ruang wilayah yang menjadi dasar perencanaan pembangunan infrastruktur, pertanian, peternakan, konservasi.

“Mungkin Perda tersebut bisa dibuka kembali diikuti, dan kiranya dapat membantu agar kita Bali tidak menyerah kepada kata over tourism yang kalau kita perhatikan, tidak lebih dari persaingan antar destinasi international. Jangan terlalu impulsif, sikapi dan kaji dengan baik. Tahun 2028 sudah bisa direvisi kalau dipandang tidak cocok lagi. Perencanaan jangka menengah tidak mungkin terjadi pergeseran kebijakan yang drastis, apalagi saat ini tidak dijabat oleh seorang pejabat yang dipilih secara demokrasi,” pungkasnya.

Menurut Sucipta, moratorium berdampak positif pada sektor pariwisata, karena banyak wisatawan yang tertarik dengan lanskap persawahan terasering yang indah serta ingin belajar lebih banyak tentang budaya dan praktik pertanian tradisional Bali. Oleh karena itu, melindungi Subak tidak hanya mendukung sektor pertanian, tetapi juga memperkuat daya tarik pariwisata budaya Bali.

“Dengan demikian, moratorium alih fungsi lahan adalah langkah strategis untuk menjaga sistem subak, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan agraris dan budaya Bali, serta mendukung ketahanan pangan, kelestarian lingkungan, dan keberlanjutan pariwisata,” tandasnya.

Baca juga:  Bahas Sampah, Komisi II DPRD Badung Minta DLHK Jangan "Lip Service"

Sementara itu, mantan Ketua Komisi III DPRD Provinsi Bali, Anak Agung Ngurah Adhi Ardhana, mengatakan wacana moratorium ini muncul karena terkait alih fungsi lahan dan perizinan pembangunan akomodasi pariwisata yang begitu masif. Namun, sebenarnya konsep sistem permohonan perizinan melalui OSS atas dasar UU Cipta Kerja sudah benar, tinggal porsi masyarakat sebagai pengawas baik ditingkat formal kelembagaan maupun komponen masyarakat kurang terpenuhi haknya.

Adhi Ardhana mengungkapkan bahwa perizinan melalui OSS ini jelas dan harus sesuai RTRW-P, RTRW-Kab/Kota dan RDTR-Kab/Kota. Sehingga, pihaknya menyayangkan jika penyelenggara negara tidak mengetahui adanya pelanggaran tata ruang. “Jadi tidak ada istilah pelanggaran tata ruang yang tidak diketahui oleh pihak penyelenggara negara, sehingga alih fungsi ataupun pembangunan akomodasi atau destinasi dan seterusnya hanya masyarakat atau rakyat yang tidak tahu walaupun sudah dengan keterbukaan informasi,” tandas Adhi Ardhana.

Adhi Ardhana berharap partisipasi masyarakat untuk menjaga alih fungsi lahan juga semestinya menjadi perhatian pemerintah, baik dengan program, subsidi ataupun peraturan-peraturan yang berpihak dan berujung pada partisipasi masyarakat dimaksud.

Terkait moraturium, Wakil Ketua BPD PHRI Provinsi Bali ini mengatakan mungkin moratorium per cluster bisa dilakukan, tetapi sejatinya semua sudah diatur dan disepakati pada Perda RTRW-P dan RTRW-Kabupaten/Kota.

Baca juga:  Bali Nihil Tambahan Korban Jiwa COVID-19

Sebelumnya, Pj. Gubernur Bali, S.M. Mahendra Jaya mengatakan bahwa telah mengirim surat usulan moratorium ke pemerintah pusat. Dalam usulannya, Pemprov Bali meminta moratorium dilakukan di 4 kabupaten/kota, yakni Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Gianyar dan Tabanan atau lazim disebut kawasan Sarbagita. Keempat daerah ini memang menjadi pusat pembangunan villa yang sudah masuk ke lahan-lahan produktif.

“Saya sudah bersurat kepada kementerian pusat untuk mempertimbangkan adanya moratorium pembangunan vila di kawasan Sarbagita, karena kami ingin menjaga jangan terjadi alih fungsi lahan, kami ingin Bali yang luar biasa yang indah, yang hijau, modernnya di bawah,” ujar Mahendra, Rabu (4/9).

Mahendra Jaya mengakui pembangunan vila memang sedang menjadi daya tarik investasi di Bali. Baik dari pengusaha lokal maupun penanaman modal asing atau PMA. Tingginya minat pembangunan vila di Bali didorong oleh sejumlah faktor, mulai dari tingginya minat orang kaya Indonesia dan luar negeri untuk tinggal di Bali. Kemudian adanya golden visa yang ditawarkan kepada orang kaya luar negeri tersebut. (Ketut Winata/balipost)

 

BAGIKAN