Ketua PHRI Badung, I Gusti Agung Ngurah Rai Suryawijaya. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Perizinan pembangunan akomodasi pariwisata yang akan diambil pemerintah pusat perlu disikapi dengan hati-hati. Bercermin dari sistem perizinan OSS, dimana pemerintah pusat memegang peran terbesar, banyak pembangunan di Bali tidak terkontrol. Karena itu, jika perizinan diambil penuh pusat, Bali bisa kacau.

Ketua PHRI Badung Agung Rai Suryawijaya mengatakan, bercermin dari sistem perizinan OSS yang saat ini berlaku, sulit membendung alih fungsi lahan. Karena jika telah memenuhi persyaratan, maka NIB akan keluar dan pembangunan bisa dilakukan.

“Ketika NIB sudah keluar, bahkan pemangku kepentingan yang ada di lingkungan tempat dibangunnya usaha tidak tahu akan ada pembangunan. Kepala desanya, bendesanya tidak tahu lingkungannya sendiri dan akan dilakukan pembangunan, lalu siapa yang akan menyetop,” katanya saat dihubungi Kamis (5/9).

Jika perizinan diambil alih oleh pemerintah pusat menurutnya kurang pas karena yang tahu Bali adalah orang Bali itu sendiri. “Jangan sampai jika diambil alih pusat kita menjadi lebih kacau. Sistem OSS saja yang tidak terkontrol menjadi seperti ini, menyebabkan masalah. Artinya perlu bersama dan kesadaran semua pihak. Jangan apa-apa diatur oleh pusat, khawatirnya akan berdampak yang kurang baik lagi. Mungkin diberikan hak yang lebih besar kepada provinsi sehingga perlunya menata Bali dengan konsep one commando,” jelasnya.

Baca juga:  Wagub Cok Ace Terima Kunker Komite III DPD RI

Moratorium menurutnya bisa dilakukan secara parsial misalnya di Bali Selatan sementara untuk Bali utara, Bali Timur masih bisa dilakukan demi pemerataan kue pariwisata. Bahkan moratorium di Bali Selatan pun perlu dizonasi lagi, mana yang boleh dan tidak. Karena saat ini dengan kedatangan wisman ke Bali mencapai 21.000 per hari dan domestik mencapai 18.000, cukup memberi kontribusi kemacetan. Maka dari itu perlu dilakukan riset untuk mengetahui carrying capacity untuk Bali Selatan.

Moratorium tujuannya baik untuk menata ulang agar pariwisata menjadi berkualitas. “Setuju saja dilakukan moratorium namun harus dilakukan riset carrying capacity terlebih dahulu karena wacana moratorium sudah sejak 15 tahun digaungkan yaitu saat zaman Mangku Pastika, khususnya di Bali Selatan,” ujarnya.

Moratorium perlu dilakukan di beberapa tempat seperti di Canggu, Kuta, dan beberapa tempat yang dinilai sangat padat dan memberi andil untuk kemacetan. Sementara bercermin dari sistem perizinan OSS yang saat ini berlaku, sulit membendung alih fungsi lahan. Karena jika telah memenuhi persyaratan, maka NIB akan keluar dan pembangunan bisa dilakukan.

Baca juga:  OJK Cabut Ijin Usaha BPR KS Bali Agung Sedana

“Ketika NIB sudah keluar, bahkan pemangku kepentingan yang ada di lingkungan tempat dibangunnya usaha tidak tahu akan ada pembangunan. Kepala desanya, bendesanya tidak tahu lingkungannya sendiri dan akan dilakukan pembangunan, lalu siapa yang akan menyetop?” tanyanya.

Oleh karena itu pengawasan ketat seharusnya ada di pemda, sekalipun NIB sudah keluar dari sistem OSS. Misalnya, pemda Tingkat II untuk pengawasan pembangunan hotel 100 kamar ke bawah dan 200 kamar ke atas Tingkat I dan 200 ke atas dilakukan pemerintah pusat. Pengawasan ini yang belum dilakukan maksimal sehingga ada pelanggaran khususnya Pembangunan properti.

Pengamat Pariwisata Hery Angligan mengatakan, jika perizinan pembangunan di Bali diambil alih pemerintah pusat menurutnya bahkan akan lebih parah lagi karena berpotensi terjadi pembangunan yang lebih masif jika pemerintah pusat tidak mengadopsi RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) di Bali. “Kecuali pemerintah berpatokan pada RDTR daerah tersebut, misalnya, di Tabanan banyak tanah sawah. Pemerintah pusat melihat daerah tersebut memerlukan hotel berkualitas sementara itu tanah sawah yang dilindungi, maka yang terjadi adalah  bentrok,” ujarnya.

Ia menyarankan agar perizinan pengelolaan pembangunan diberikan saja kepada pemerintah Povinsi Bali. Sementara pemerintah pusat hanya meresmikan bahwa seseorang membuat PT yang masuk ke sistem OSS, dan mengeluarkan Nomor Induk Berusaha (NIB). Sedangkan perizinan teknis seharusnya diberikan kewenangan kepada pemerintah daerah yang bisa lebih tahu kondisi di daerahnya.

Baca juga:  Gendo Law Office Raih Penghargaan Pro Bono dari Hukum Online

“Walaupun sekarang faktanya, pemda juga ‘merem’ dalam mengeluarkan izin, kecuali pemerintah pusat mau strict seperti itu, bagus juga. Yang penting para pihak yang akan mengeluarkan keputusan izin itu punya objektif yang positif untuk lebih baik berdasarkan kondisi yang ada di Bali,” imbuhnya.

Dan menurutnya tidak semua paham dengan sumber pariwisata Bali adalah budaya. Jika semua paham bahwa sumber pariwisata Bali adalah budaya maka budaya yang perlu dijaga. Menjaga budaya tidak hanya soal bentuk fisik tapi juga non fisik yaitu tingkah laku orang Bali.

Dampak lainnya ketika budaya tidak dijaga adalah ketika orang Bali dengan mudah menjual tanahnya misalnya di Canggu, yang mana tanah tersebut sebelumnya secara rutin diupacarai. Dengan menjualnya atau menyewanya kepada orang asing yang tidak paham budaya Bali, maka budaya di Canggu akan hilang, terjadilah komodifikasi budaya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN