Kepala BPBD Bali, I Made Rentin (kanan) sedang berkoordinasi dengan staff BPBD Bali. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Provinsi Bali dikenal sebagai provinsi yang berhasil menanggulangi penyakit rabies. Bahkan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal TNI Suharyanto beberapa kali bertanya kepada Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bali, Made Rentin, tentang rahasia keberhasilan strategi pengendalian rabies di Bali.

“Dalam beberapa kesempatan, Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto meminta saya, bahkan menelepon saya, untuk mengetahui bagaimana Bali bisa begitu sukses menangani rabies. Pendekatan yang kami lakukan di Bali ini ingin ditiru oleh Pemerintah Provinsi NTT. Bahkan, BNPB secara khusus datang ke Bali sebelum ke NTT untuk mendengarkan cerita kami. Saya dipanggil ke ruang VIP di bandara dan ditanya apa yang dilakukan Bali sehingga bisa begitu sukses dalam penanganan rabies,” kenang Rentin dalam sebuah wawancara baru-baru ini.

Kendati demikian, Rentin dengan rendah hati mengakui bahwa dari sudut pandang timnya, Bali belum mencapai tujuannya. “Secara internal, kita belum berhasil menangani rabies, tetapi pejabat nasional melihat bahwa Bali telah mampu berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk mempercepat penanganan rabies. Saya katakan bahwa kuncinya adalah kolaborasi dan keterlibatan semua pihak,” tegasnya.

Ia juga mengungkapkan, ada pola kemitraan antara Provinsi Bali dengan Australia melalui Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) yang membantu upaya penanggulangan penyakit zoonosis dan penyakit infeksius baru (PIB). Melalui kerja sama ini, dinas-dinas pemerintah daerah dan pemangku kepentingan terkait berkolaborasi dalam upaya penanggulangan penyakit.

“Untuk kesehatan manusia, ada dinas kesehatan. Untuk kesehatan hewan, kita bekerja sama dengan Badan Ketahanan Pangan yang membawahi Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Ada juga Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) untuk perencanaan dan dukungan anggaran, dan Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) yang berperan penting dalam komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE),” jelasnya.

Baca juga:  20 Persen Desa di Bali Rawan Bencana, Ini Jumlahnya Dikategorikan Bahaya Tinggi

Pendekatan ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang mengamanatkan agar berbagai pihak dapat berperan serta dalam penanggulangan bencana.

“Kebijakan nasional mengacu pada kolaborasi pentahelix. Tetapi di Bali, selama 2-3 tahun terakhir, kami mengembangkan pendekatan multihelix, yang melampaui pentahelix. Pentahelix meliputi lima elemen kunci: pemerintah, bisnis, akademisi, masyarakat, dan media. Namun sekarang, dengan keterlibatan negara-negara sahabat di Indonesia, khususnya di Bali—seperti Australia, Jepang, Amerika Serikat, Inggris, dan lainnya—yang mendukung program-program inovatif Pemprov Bali, khususnya di BPBD, kami menyebutnya sebagai kolaborasi multihelix,” jelasnya.

Rentin menegaskan, belum banyak daerah yang mampu menerapkan pendekatan ini, bahkan di tingkat nasional. Saat ini, di Bali telah dibentuk Tim Koordinasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Zoonosis dan Penyakit Menular Baru (TIKOR) yang menyasar sektor kesehatan manusia dan hewan.

Inspirasi pendekatan penanggulangan rabies yang saat ini diterapkan berawal dari pengalaman yang cukup menantang selama pandemi COVID-19. “COVID-19 belum juga teratasi, kemudian muncul wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Selama 3,5 tahun penanganan COVID-19, kami membentuk Satgas COVID-19. Dengan gubernur sebagai komandan, sekretaris sebagai ketua pelaksana dan Kepala BPBD sebagai sekretaris. Begitu pula ketika PMK muncul saat COVID-19 masih berlangsung, kami membentuk satgas baru, yaitu Satgas Penanggulangan Penyakit Mulut dan Kuku. Sekali lagi, sekretaris sebagai ketua, dan Kepala BPBD sebagai sekretaris,” kenangnya.

Model yang sukses ini menginspirasi pembentukan Tim Koordinasi (Tikor) untuk penyakit zoonosis dan penyakit infeksius baru. Dalam Tikor, berbagai pemangku kepentingan terlibat, hingga ke tingkat akar rumput, termasuk masyarakat setempat dan desa adat.

“Jika kita berbicara tentang mitigasi dalam penanggulangan bencana, secara umum kita memiliki dua teori, yaitu mitigasi struktural dan mitigasi non-struktural. Di Bali, kita tambahkan unsur ketiga, yaitu mitigasi spiritual. Pendekatan yang konsisten dan berkesinambungan inilah yang menjadi cara kita menjaga Bali dari berbagai ancaman bencana, termasuk penyakit zoonosis dan penyakit menular yang ada di Bali,” tegasnya.

Baca juga:  Tiga Hari Kebakaran Lereng Gunung Agung, Luasan Lahan Terdampak Capai Ratusan Hektare

Rentin yang meraih gelar doktor di bidang ekonomi bencana ini menyatakan, saat ini Bali tengah mengerahkan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk mencapai target Bali Bebas Rabies pada tahun 2030. Di Bali, terdapat sistem pemerintahan ganda yang saling mendukung dan memperkuat. Di tingkat akar rumput, ada desa dan masyarakat perkotaan dalam konteks pemerintahan nasional, sedangkan di sisi lain ada desa adat.

Kedua elemen tata kelola di tingkat akar rumput ini diberdayakan untuk mempercepat penanggulangan rabies di wilayah masing-masing. Salah satunya adalah Tim Siaga Rabies (Tisira) yang berbasis di desa. Dari 716 desa di Bali, 405 desa kini telah memiliki tim TISIRA.

Rentin menegaskan bahwa Tisira telah terbukti sangat efektif dalam penanggulangan rabies karena merupakan contoh keberhasilan kolaborasi multihelix.

Tisira dikoordinasikan oleh kepala desa dan melibatkan berbagai unsur, tidak hanya pejabat pemerintah daerah, tetapi juga tokoh masyarakat, paguyuban, Babinsa, dan Bhabinkamtibmas di tingkat desa. “Mereka semua bagian dari Tisira. Mereka paham betul kondisi di daerahnya masing-masing. Kalau ada kasus, mereka yang pertama merespons, cepat tanggap, minimal memberikan pertolongan pertama,” kata Ketua Umum Gerakan Pramuka Provinsi Bali ini.

Pendekatan One Health  

Terkait penanggulangan penyakit zoonosis dan penyakit menular baru, Ketua Pusat Kajian One Health Universitas Udayana, Prof. Ni Nyoman Sri Budayanti, menyatakan bahwa Bali menerapkan pendekatan One Health. Artinya, penanggulangan penyakit dilakukan dengan pendekatan terpadu antara kesehatan manusia dan hewan. “Pendekatan One Health melibatkan komunikasi, kolaborasi, dan kombinasi lintas sektor. Meski teorinya mudah, praktiknya sangat menantang. Rabies adalah salah satu contoh klasik,” kata Guru Besar Kedokteran Universitas Udayana itu saat diwawancarai belum lama ini.

Baca juga:  Hujan Lebat Telan Korban, Bali Berikan Santunan hingga Rp15 Juta

Ia menekankan pentingnya pendekatan ini, mengingat penyakit rabies telah ada di Bali selama 13 tahun tanpa ada penyelesaian yang tuntas. Salah satu kelemahan utamanya adalah lemahnya koordinasi dan kolaborasi.

Hal ini juga diakui oleh pemerintah pusat dan Bali, yang menyadari bahwa penanganan penyakit zoonosis, terutama pasca-COVID-19, harus melibatkan upaya lintas sektoral dan pendekatan One Health.

Terkait peran akademisi, ia mengatakan bahwa peran akademisi sangat penting karena mereka dapat menilai isu secara objektif dan memberikan usulan kebijakan serta rekomendasi kepada pemerintah.

“Kami tidak memiliki kepentingan pribadi. Hal ini memungkinkan kami untuk memberikan solusi yang lebih objektif, berbasis bukti, secara teoritis masuk akal, dan terkini. Itulah peran akademisi. Saya percaya akademisi memainkan peran penting dalam menganalisis masalah secara objektif berdasarkan fakta dan pengetahuan ilmiah untuk menawarkan solusi yang tepat,” katanya.

Senada dengan Rentin yang memuji program TISIRA, Prof. Sri Budayanti juga mengapresiasi program tersebut atas perannya dalam mengedukasi masyarakat tentang penanggulangan rabies. “Sejak TISIRA berdiri, saya melihat kasusnya menurun. Tahun ini, ada empat kasus, dua di Tabanan, tempat TISIRA belum aktif, dan dua di Karangasem. TISIRA memberdayakan masyarakat untuk memantau situasi secara aktif, dan pengendalian rabies sangat bergantung pada keterlibatan masyarakat,” jelasnya.

Dengan kerja sama yang kuat dari semua pihak yang terlibat, baik Rentin maupun Prof. Sri Budayanti optimistis Bali dapat terbebas dari rabies pada 2030. Bahkan mereka yakin, dengan efektifnya TIKOR dan pendekatan One Health, Bali dapat mencapai tujuan tersebut paling cepat pada 2028. (Diah Dewi/balipost)

BAGIKAN