Suasana kemacetan di Denpasar menjelang sore hari. Kemacetan merupakan salah satu implikasi dari mulai pulihnya pariwisata Bali. Bali kini tengah berbenah terhadap tata kelola pariwisatanya, salah satunya lewat moratorium akomodasi wisata. (BP/Melynia Ramadhani)

DENPASAR, BALIPOST.com – Bali kini tengah berbenah terhadap tata kelola pariwisatanya. Moratorium pembangunan akomodasi pariwisata pun akan dilakukan hingga 1 sampai 2 tahun ke depan.

Tidak saja moratorium hotel dan vila, moratorium pembangunan diskotek dan beach club juga tengah diusulkan ke Pemerintah Pusat. Begitu juga dengan izin pembangunan akomodasi pariwisata akan diambil alih pusat. Hal ini dikarenakan alih fungsi lahan pertanian semakin masif di Bali.

Guru Besar Universitas Warmadewa (Unwar), Prof. Dr. Drs. Anak Agung Gede Oka Wisnumurti, M.Si., menegaskan bahwa memang sudah seharusnya Bali melakukan re-evaluasi terhadap pembangunan dan pengembangan pariwisata. Hal ini penting dilakukan mengingat pariwisata Bali adalah pariwisata berbasis budaya.

Aspek pengembangan pariwisata berbasis budaya ini yang harus menjadi nilai substantif dalam konteks pelaksanaan pembangunan kepariwisataan Bali. Jangan sampai dalam upaya memenuhi daya dukung infrastruktur dan fasilitas pariwisata bertentangan dengan aspek budaya.

“Menurut saya, upaya-upaya untuk melakukan pengaturan kembali, apakah itu bentuknya moratorium termasuk proses perizinan, termasuk bagaimana pemanfaatan alam dam lingkungan Bali, saya fikir ini sangat mendesak harus dilakukan. Karena kalau tidak nanti Bali akan mengalami overload, utamanya berkaitan dengan fasilitas pariwisata yang tidak sesuai dengan nilai dan budaya masyarakat Bali,” kata Prof. Wisnumurti, Senin (9/9).

Baca juga:  "Cruise Tourism," Alternatif Tingkatkan Wisman ke Bali

Terkait perizinan pembangunan akomodasi pariwisata yang akan diambil alih oleh pemerintah pusat, Prof. Wisnumurti menyarankan agar hal ini mesti dipikirkan ulang. Mengingat, Bali adalah pariwisata budaya yang basisnya ada pada masyarakat dan komunitas masyarakat lokal.

Keterlibatan masyarakat lokal dalam proses pemanfaatan alam lingkungan dan budaya di “wewengkon” daerah itu menjadi sangat penting dan strategis. Justru, apabila izin yang berkaitan dengan pembangunan dan pengembangan pariwisata ditangani oleh pusat, akan sangat mengkhawatirkan keberadaan masyarakat lokal. Apalagi, kehidupan budayanya sangat kuat.

“Dan untuk Bali, saya pikir izin yang dimaksud itu harus melibatkan masyarakat lokal, karena anggaplah misalnya penginapan dan tempat-tempat wisatawan menikmati alam dan lingkungan Bali itu ada di desa, justru masyarakat lokal yang bisa memanfaatkan dan menikmati hasilnya, apalagi misalnya masyarakat lokal bisa menyiapkan tempat penginapan untuk mereka,” ujarnya.

Apabila hal itu tidak dilakukan dan sepenuhnya dioutuskan oleh Pemerintah Pusat, dikhawatirkan masyarakat lokal akan menjadi penonton dalam hiruk pikuknya aktivitas kepariwisataan di Bali. Bahkan, ke depannya akan muncul tempat-tempat atau penngembangan sarana prasarana pariwisata yang tercerabut dari akar budaya Bali. Seperti, beach club yang tidak melibatkan masyarakat lokal di sekitarnya untuk ikut bersama-sama menikmati dan mengelolanya.

Baca juga:  Bendera dan Kaos Dirampas Polisi di Klungkung, ForBALI Layangkan Surat Protes Terbuka

“Ini yang menurut saya perlu dipikirkan kembali. Tapi saya sepakat untuk melakukan penataan kembali melakukan re-evaluasi terhadap semua proses itu, termasuk yang paling penting sesungguhnya adalah bagaimana keberadaan dan kehadiran wisatawan itu yang harus di seleksi sedemikian rupa,” tegasnya

Prof. Wisnumurti mengakui bahwa pascapandemi COVID-19 wisatawan yang datang ke Bali tidak diseleksi dengan ketat. Sehingga, wisatawan yang tidak berkualitas dengan mudahnya masuk ke Bali.

Bahkan, beberapa di antara mereka mencari pekerjaan di Bali dengan menggunakan visa liburan. Untuk itu, harus segera dilakukan seleksi terhadap wisatawan yang masuk ke Bali.

“Jika tidak dilakukan seleksi, yang akan hadir ke Bali tidak saja wisatawan berkelas, tetapi wisatawan yang kemungkinan di negara asalnya mengalami kesulitan ekonomi, pengangguran, kemudian mereka memilih Bali yang dikenal murah, mudah untuk mereka berwisata dan bahkan mereka melakukan aktivitas ekonomi yang melanggar visa mereka Menurut saya, yang perlu diatur sebenarnya adalah kehadiran wisatawan itu yang memang harus diseleksi sedemikian rupa sebagaimana kita berwisata ke negara lain,” ujarnya.

Baca juga:  SMAN 1 Rendang Bangga Jadi Tuan Rumah "BPGS"

Kepala Dinas Provinsi Bali, Tjok Bagus Pemayun, mengatakan Bali memang harus dilakukan moratorium pembangunan akomodasi pariwisata. Ia merasa ketika moratorium hotel, penghentian alihfungsi lahan, dan pengaturan perizinan OSS (Online Single Submission) dilakukan, pariwisata akan lebih terkendali.

Dikatakan, selama ini aplikasi OSS berada di bawah Kementerian Investasi/BKPM. Sarana ini membantu dalam memangkas birokrasi namun berbasis risiko dari rendah, menengah rendah, menengah tinggi, dan tinggi.

Ketika sebuah akomodasi wisata memiliki kamar 1-100 pintu, restoran 1-100 kursi, dan luas bangunan 4.000 meter maka menjadi kewenangan kabupaten/kota. Ketika kamar memiliki 101-200 pintu, restoran 101-200 kursi, dan luasan bangunan 6.000-10.000 meter menjadi kewenangan provinsi. Dan selebihnya menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Oleh karena itu, Bali ingin saat ini tata kelola pariwisatanya diperbaiki dulu. Nantinya, Pemprov Bali diberi kewenangan ketika ada yang hendak melakukan pembangunan agar diperiksa terlebih dahulu. “Bali kan one island, biar kami melakukan monitoring evaluasi semuanya untuk mengendalikan pembangunan, selama ini kan setelah kasus baru viral baru lah tahu ternyata kewenangan kabupaten atau pusat,” tandasnya. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN