DENPASAR, BALIPOST.com – Pemerintah perlu mewaspadai perubahan iklim yang ekstrem terhadap pertanian di Bali. Jika tidak diantisipasi, akan menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan Bali. Saat inilah pemerintah mesti hadir menyelamatkan pertanian. Hal itu diungkapkan akademisi Pertanian Universitas Udayana Prof. I Gusti Ngurah Santosa, Selasa (10/9).
Ia mengatakan, kondisi iklim saat ini berubah dari situasi normal. Pada musim kemarau ditandai dengan peningkatan suhu, yang membuat terjadinya penguapan yang lebih besar termasuk di laut dan danau. Hal itu berpotensi menyebabkan terjadinya curah hujan yang lebih besar dari angka normal.
“Pada saat penguapan, air di daratan menjadi lebih kering dan krisis air. Sedangkan pada saat hujan terjadi banjir besar, sehingga kondisi ekstrem ini akan merusak pertanian yang bisa saja lebih luas,” ujarnya.
Menghadapi permasalahan tersebut maka curah hujan yang tinggi perlu ditangkap dengan membuat waduk, bendungan, atau embung. Selain itu di musim kering juga bisa secara bergiliran untuk melakukan pengairan. “Tidak melakukan pengairan secara serempak tapi secara bergilir,” ujarnya.
Ia juga menganjurkan menanam tanaman tahan kering. Selain melakukan perbaikan kultur teknik di lapangan seperti penggunaan mulsa untuk mengurangi penguapan dan kekeringan pada tanaman. “Mulai penutup tanah bisa dengan plastik hitam, bisa dengan jerami dan dedaunan,” bebernya.
Menurutnya selama ini, petani telah mengadopsi sistem dan teknologi pertanian tersebut namun sesekali juga perlu didampingi. “Petani sudah terbiasa menanam tanaman varietas tahan kering. Giliran pengairan air juga sudah biasa dan efisiensi juga sudah biasa namun perlu dilakukan pendampingan,” imbuhnya.
Menurutnya, dalam pelaksanaan di lapangan perlu digalakkan lagi agar jangan sampai petani mengalami kerugian. Jangan sampai petani memilih tidak menanam untuk menghindari kerugian tanam efisiensi air juga perlu dilakukan baik di bidang pertanian, mengingat 86 persen air dimanfaatkan untuk pengairan, termasuk efisiensi air bersih.
Sementara untuk menjaga pertanaman di saat banjir, maka perbaikan drainase harus dilakukan dan pembersihan sampah di saluran, menanam tanaman tahan rebah, membuat sumur resapan, membuat terasering atau sengkedan untuk meningkatkan infiltrasi dan perkomasi. “Kekeringan berpotensi menyebabkan gagal panen sementara jika banjir menyebabkan kerusakan pertanaman. Maka dalam kondisi ini pemerintah harus hadir membantu petani,” tegasnya.
Belum lama ini Bank Indonesia KPw Bali juga menyampaikan adanya potensi kekurangan pasokan beras. Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Bali, Erwin Soeriadimadja mengatakan, beras yang merupakan salah satu komoditas dengan bobot inflasi tertinggi menghadapi tantangan penurunan luas panen, pengiriman gabah keluar Bali, dan ketersediaan beras yang cenderung defisit saat arus wisatawan tinggi, di tengah belum optimalnya rice milling unit (RMU) di Bali.
Sebelumnya Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bali, I Wayan Sunada, menjelaskan alih fungsi lahan pertanian yang terus terjadi di Bali menjadi ancaman daya tahan pangan di Pulau Dewata yang notabene penduduknya terus bertambah sehingga meningkat kebutuhan pangan. Setiap tahun, 600 hektare hingga 1.000 hektare lahan pertanian Bali beralih fungsi menjadi perumahan, hotel, restoran maupun bangunan lain yang menopang industri pariwisata dan industri lainnya.
Kelemahan petani Bali saat ini lahannya sempit, ada yang punya 25 are, paling banyak 75 are. Itu akibat dari alih fungsi lahan yang terjadi setiap tahun. (Citta Maya/balipost)