Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Terdapat banyak definisi tentang “pemimpin” yang secara substansial memiliki arti senada. Bahwa pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan memengaruhi dan menggerakkan orang lain untuk mencapai tujuan. Courtois (dalam Sutarto, 2001) mengatakan “kelompok tanpa pemimpin seperti tubuh tanpa kepala, mudah menjadi sesat, panik, kacau, anarki, dan lain-lain.

Setiap kelompok/golongan, organisasi, institusi, dll, terlebih pemerintahan memerlukan pemimpin yang bisa menjadi tauladan, penggerak, pengarah, penuntun, pembimbing sekaligus pengemban amanat menyejahtera-bahagiakan rakyatnya. Oleh karena itu, seorang pemimpin wajib memiliki jiwa kepemimpinan, tentunya dengan berbagai model, gaya atau karakteristiknya sebagai penentu sukses tidaknya misi yang diemban.

Howard W, Hot, dalam bukunya Aspect of Modern public Administration menyatakan, kepemimpinan adalah seni untuk memengaruhi tingkah laku munusia dan kemampuan untuk membimbing beberapa orang. Kepemimpinan tiada lain kemampuan seseorang membimbing orang lain, sehingga tergerakkan untuk mengikuti kemauannya dengan ikhlas guna mencapai tujuan. Pengertian ini, menyangkut kepemimpinan secara konseptual sekaligus ideal yang sangat dinantikan kehadirannya.

Baca juga:  PPKM Darurat Nonton dari Rumah

Rajarsi Vs Rajadiraja

Secara normatif, tipikal pemimpin ideal dimaksud adalah figur yang memiliki karakter kepemimpinan “Rajarsi”. Merupakan perpaduan sifat-sifat raja yang mengayomi dan melindungi dengan spirit ajaran suci para Rsi sebagai prinsip mengabdi dan melayani guna membebaskan rakyat dari segala penderitaan (ksaya nikang papa nahan prayojana). Bagi masyarakat awam tentunya sangat berharap, melalui ajang pesta demokrasi lewat jalur berbagai macam pemilihan, terkhusus pilkada mendatang diharapkan terpilih seorang pemimpin berkarakter “Rajarsi”. Meski terasa sulit dan berat, tak ubahnya seperti mencari jarum di padang rumput.

Mengingat dalam realitanya ada trend (akan) tampilnya pemimpin berwatak “Raja-diraja”, terpilih lantaran berhasil “menguasai” suara sebagian besar rakyat, tanpa perlu menjejaki track record atau background yang bersangkutan. Itupun tak jarang diraih dengan taktik konsolidasi sesaat lewat berbagai pendekatan berbasis : 1) massa (ormas), termasuk yang tak lepas dari stigma freeman; 2) sekaa-sekaa, melalui gelontoran dana, tak terkecuali penggemar “seminar” (sekaa minuma arak), dan para babotoh; 3) adat-agama, dengan menghaturkan punia guna penguatan dukungan suara akar rumpur; dan 4) bantuan sosial berlabel angelus buana atau sewaka dana.

Baca juga:  Menelisik Metaverse, Peluang bagi Industri Kreatif

Jika kemudian di ujung akhir proses pemilihan ternyata terpilih sosok berkarakter “Rajadiraja” itulah pemimpin zaman Kali. Lebih memosisikan diri sebagai penguasa, pemanfaat kesempatan, penikmat aji mumpung berorientasi “gol-goal” — kepentingan golongan sebagai tujuan atau target prioritas. Pemimpin model begini tidak dapat diharapkan akan mampu mensejahtera-bahagiakan rakyatnya. Apalagi ketika mind-set bakal calon atau ketika sudah menjadi pemimpin sudah terkontaminasi kepentingan politik praktis, yang menjadikan kedudukan/jabatan beserta kewenangannya hanya sebagai kesempatan meraup keuntungan pragmatis berbasis materialis dan berharap tetap populis.

Prediksi di atas, sebenarnya sudah tersurat dan tersirat dalam petikan makna sebaris Kakawin Niti Sastra IV, 7: “Sesungguhnya, bila Zaman Kali datang pada akhir Yuga, hanya kekayaan yang dihargai. Tidak keliru jika dikatakan bahwa tipe pemimpin zaman Kali, rata-rata berkarakter Rajadiraja bermodalkan “4 AS”. Dimulai dengan modal isi “tas/brankas”, lalu ditebar guna menaikkan “popularitas” dan mendongkrak “elektabilitas”, meski minus “kualitas”, dan berharap meraih kemenangan hingga sukses merebut kursi diatas sebagai seorang pemimpin.

Baca juga:  Tantangan Kepemimpinan Bali ke Depan

Ternyata di zaman Kali, alur perputaran modal “4 As” ini menjadi “kartu As/Truf bagi setiap calon pemimpin yang berhasrat unjuk diri dalam ajang pemilihan. Terlebih dalam ajang pilkada, nyaris tak bisa lepas dari penyiapan besaran material finansial. Realita ini sudah menjadi rahasia umum, tanpa modal kapital, sepertinya mustahil bisa mengikuti seluruh rangkaian agenda politik yang selalu disertai pembiayaan dengan risiko kerugian jika gagal terpilih. Tinggal sekarang para calon pemilih, hendaknya lebih bijak dalam menentukan pilihan agar kelak tidak “dibejek” harapannya, mendambakan pemimpin “Rajarsi”, tapi yang terpilih berkarakter “Rajadiraja”.

Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN