DENPASAR, BALIPOST.com – Setelah dituntut pidana penjara selama enam tahun oleh JPU dari Kejati Bali, pada sidang pledoi, Kamis (19/9), terdakwa I Ketut Riana melalui kuasa hukumnya Gede Pasek Suardika, dkk, menyampaikan pledoi di hadapan majelis hakim yang diketuai Gede Putra Astawa.
Pada pokoknya, terdakwa Riana minta dibebaskan dari segala tuntutan jaksa karena dia menilai JPU tidak mampu membuktikan dakwaannya. Pasek didampingi rekannya yang lain menjelaskan, bahwa JPU telah menganulir sendiri dakwaan dalam tuntutannya.
Salah satunya bahwa syarat yang paling utama bendesa dianggap pegawai negeri. Dia menerima gaji atau upah, di mana dalam dakwaan JPU menyampaikan bahwa terdakwa dianggap menerima gaji atau upah atau imbalan.
Menurut Pasek, kata imbalan tidak ada dalam undang-undang. “Nah dalam tuntutan, gajinya tidak dipakai, upahnya tidak dipakai. Namun menggunakan kata baru yakni penghasilan,” jelas GPS sapaan akrabnya.
Lanjut dia, secara hukum penghasilan, gaji, upah dan honorer itu berbeda. “Jadi, dengan satu unsur saja tidak terpenuhi, maka terdakwa ini sudah pantas untuk bebas,” jelas Pasek.
Diuraikan pula bahwa bendesa adat tidak masuk dalam ketentuan klaster sebagai pegawai negeri karena bendesa ada di luar pemerintahan. Proses untuk menjadi bendesa atau pemilihan bendesa, tidak ada ikut campur oleh pemerintah, seperti oleh kepala desa, camat, bupati maupun gubernur.
Namun bendesa dipilih oleh sekumpulan masyarakat adat. Sedangkan apa yang didapat dari bendesa dari Pemprov Bali, Pemda Badung maupun Pemkot, itu tidak bisa disebut dengan mendapatkan upah.
Sebagaimana kesaksian Ketua Pansus Peraturan tentang Desa Adat yang juga anggota DPR RI, I Nyoman Parta, bendesa tidak menerima gaji, karena prinsipnya ngayah. Hal sama dijelaskan I Made Wena, selaku Petajuh Bendesa, yang mengatakan bendesa tidak terima gaji, namun jika ada disebut olih-olihan. Karena bendesa adat sifatnya ngayah.
Sedangkan yang dari Pemkab Badung sifatnya adalah honorarium dan insentif. Itu berbeda dengan gaji.
Kedua soal unsur memaksa, dijelaskan kuasa hukum terdakwa Gede Pasek Suardika, bahwa terkait uang Rp 100 juta, itu bukanlah unsur pemaksaan. Kata Pasek, bahwa di persidangan sudah terbukti bahwa yang aktif adalah saksi Andianto Nahak. “Yang menghubungi, yang mengajak ketemuan, menentukan tempat, yang ngasih duit kan Andianto. Sedangkan terdakwa tidak ada memaksa. Jadi, unsur pemaksaan tidak terpenuhi,” ucapnya.
Disampaikan pula bahwa unsur pemerasan dalam perkara ini tidak bisa dipaksakan. Kalau mau dipaksakan, mestinya suap menyuap tetapi pidananya masuk pidana umum. “Lalu dicek, punya kewenangan gak yang disuap. Sedangkan terdakwa sendiri tidak punya kewenangan dalam mengurus izin investasi. Masa dia harus dihukum dengan kewenangan yang dia tidak punya, dengan kewenangan semu,” ucapnya dengan suara lantang.
Sedangkan kasus yang menjerat I Ketut Riana ini adalah kasus terkait perizinan akomodasi pariwisata. Tidak ada kewenangan di bendesa, namun kewenangan perizinan ada di pemerintah.
Terkait uang pengganti Rp 50 juta? Pasek menjelaskan bahwa terkait pengenaan Pasal 18, soa uang pengganti Rp 50 juta dinilai lucu. Karena, dijelaskan Pasek, pasal 18 berlaku jika ada kerugian keuangan negara atau potensi kerugian keuangan negara. “Ini kan tidak ada uang negara. Ini uang Andianto. Bukan juga uang PT Berawa Bali Utama. Apakah PT Berawa Bali Utama merasa diperas. Kan tidak, wong tidak pernah ketemu,” jelas Pasek Suardika.
Dengan sejumlah hal yang dianggap tidak sesuai dengan dakwaan JPU, dia minta majelis hakim untuk membebaskan terdakwa dari dari segala tuntutan jaksa. Namun demikian, jika majelis hakim punya pendapat lain dimohon terdakwa dilepas dan atau minta putusan yang seadil-adilnya.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejati Bali, Ni Luh Oka Ariani Adikarini, Agung Gede Lee Wisnhu Diputera, Kadek Teguh dkk., Kamis (5/9) membacakan tuntutan atas perkara dugaan pemerasan atau permintaan uang sebesar Rp 10 miliar pada investor terkait pembangunan apartement oleh PT. Berawa Bali Utama.
Riana dinyatakan terbukti bersalah sehingga dia dituntut pidana penjara selama enam tahun. Tidak hanya hukuman fisik, JPU dari Kejati Bali juga menuntut supaya Riana membayar denda Rp200.000.000 subsidair tiga bulan kurungan.
Jaksa juga membebankan supaya terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp. 50.000.000. Dengan ketentuan apabila terdakwa tidak mampu membayar pengganti paling lama dalam waktu satu bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. (Miasa/balipost)