Prof. Dr. I Made Sutajaya, M.Kes. (BP/Istimewa)

Oleh Prof. Dr. I Made Sutajaya, M.Kes.

Ergonomi adalah ilmu, teknologi dan seni untuk menyerasikan alat, cara kerja dan lingkungan pada kemampuan, kebolehan, dan batasan manusia sehingga diperoleh kondisi kerja dan lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan efisien serta tercapai produktivitas yang setinggi-tingginya. Socio-cultural ergonomic adalah prinsip-prinsip ergonomi yang berkaitan dengan kearifan lokal yang merupakan unsur kebudayaan tradisional yang telah memiliki sejarah yang panjang dan hidup dalam kesadaran kolektif manusia dan masyarakat sejagat, terkait dengan sumber daya alam, sumber daya kebudayaan, sumber daya manusia, ekonomi, hukum, dan keamanan.

Ergo-entrepreneurship adalah kewirausahaan berbasis ergonomi dengan sentuhan marketing berupa trik-trik pemasaran yang dapat meningkatkan nilai jual produk dan tetap memertimbangkan unsur kesehatan pada proses produksi. Ketiga konsep tersebut akan dapat diimplementasikan jika seseorang mempunyai karakter: (1) bertindak sesuai visi, misi, dan rencana strategis, (2) fokus pada pekerjaan yang dilakoni, (3) punya rencana tindak (action plan) yang matang, (4) selalu berpikir positif, (5) bertanggungjawab, (6) punya relasi, (7) mampu bekerja dalam tim, (8) cerdas finansial, (9) berani memimpin, (10) disiplin, dan (11) empati. Kesebelas karakter inilah yang wajib dimiliki oleh seseorang yang berniat untuk melakukan konservasi lingkungan melalui socio-cultural ergonomic dan ergo-entrepreneurship

Baca juga:  Kekuatan Museum dengan GLAM

Upacara Malasti Pabejian merupakan upacara yang dilakukan secara regular, ketika ada upacara piodalan di salah satu Pura. Upacara ini dihadiri oleh banyak orang dan dilakukan dengan cara berjalan kaki sepanjang 1 sampai 3 km perjalanan, tergantung jarak antara Pura dengan Beji (sumber air suci) yang dituju. Upacara tersebut memberikan peluang kepada para pelaku kuliner untuk mendapatkan rejeki yang lebih banyak, mengingat pemedek (peserta upacara) yang akan menuju Beji tentu akan merasa haus dan lapar, sehingga mau tidak mau atau suka tidak suka akan membutuhkan pelayanan kuliner. Di samping itu areal yang digunakan sebagai tempat upacara berupa ruang terbuka hijau juga berpeluang digunakan untuk areal kuliner yang dapat dilakukan setiap hari, jika areal tersebut ditata sebagai tempat rekreasi dan berolahraga yang representatif serta sekaligus sebagai tempat masliyahan (melepas lelah).

Situasi saat ini, upacara melasti lebih sering dilakukan di segara (laut) dan dalam perjalanan menuju ke tempat tersebut menggunakan kendaraan umum atau pribadi yang berisiko menimbulkan kemacetan. Di samping itu masyarakat akan dimanjakan untuk melakukan upacara dengan berkendaraan, padahal pada zaman dahulu diwajibkan melasti dengan jalan kaki. Kondisi ini tentu akan berdampak terhadap kesehatan masyarakat, sehingga perlu dikembalikan ke tradisi lama yaitu melaksanakan upacara Malasti Pabejian.

Baca juga:  Perspektif Guru di Tahun Politik

Lokasi Beji berada di ruang terbuka hijau dan komunitas yang ikut upacara tersebut adalah masyarakat setempat. Masyarakat inilah yang akan memberikan kontribusi kepada pelaku kuliner untuk mengembangkan usahanya. Dalam hal ini diperlukan sikap kewirausahaan yang ditunjang oleh pemahaman masyarakat terhadap prinsip-prinsip kewirausahaan berbasis ergonomi atau kesehatan kerja yang dikenal dengan istilah ergo-entrepreneurship.

Dalam perspektif pembangunan ini, disadari betapa penting kapasitas manusia dalam upaya meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal atas sumber daya materi dan nonmaterial. Kuliner di areal Beji adalah kuliner yang digelar di ruang terbuka hijau di sekitar Beji merupakan salah satu usaha yang sangat potensial untuk dikembangkan oleh masyarakat. Ketidakpahaman masyarakat khususnya para pelaku kuliner terhadap kewirausahaan berbasis ergonomi (ergo-entrepreneurship), khususnya mengenai keterkaitannya dengan kesehatan, membuat mereka tidak tahu cara mengembangkan usaha tersebut secara professional.

Di lain pihak kewirausahaan berbasis ergonomi berorientasi lingkungan juga belum disosialisaikan kepada masyarakat padahal sangat diperlukan dalam pengembangan kewirausahaan Permasalahan mendasar inilah yang tampaknya dapat ditanggulangi melalui implementasi Teknologi Tepat Guna (TTG) pada upacara Malasti Pabejian yang dikemas dalam bentuk pemberdayaan berbasis Socio-Cultural Ergonomic dan Ergo-Entrepreneurship untuk konservasi lingkungan dan kesehatan Pada pemberdayaan tersebut ditekankan bahwa prinsip-prinsip kewirausahaan, kesehatan, lingkungan, dan ergonomi selalu dijadikan acuan di dalam memperbaiki kualitas kesehatan, sikap kewirausahan, dan sikap peduli terhadap kondisi lingkungan. Hal itu dilakukan demi terwujudnya masyarakat yang sehat, segar, dan bugar, serta memiliki jiwa kewirausahaan yang tangguh dan inovatif, serta tetap peduli dengan kondisi lingkungan.

Baca juga:  Perpustakaan dan Kemajuan Peradaban

Dalam hal ini ada 6 (enam) aspek yang harus diperhatikan dalam mengimplementasikan TTG yaitu: (1) secara teknis bisa dikerjakan, (2) secara ekonomis bisa dijangkau, (3) secara kesehatan bisa dipertanggungjawabkan, (4) secara sosial budaya tidak bertentangan, (5) hemat energi, dan (6) ramah lingkungan. Mekanisme implementasinya sangat terkait dengan kemampuan manusia yang ditentukan oleh faktor profil, kapasitas fisiologi, psikologi, dan biomekanik yang akan berimplikasi terhadap kesehatan dan pelestarian lingkungan.

Penulis, Guru Besar Bidang Pendidikan Universitas Pendidikan Ganesha

BAGIKAN