DENPASAR, BALIPOST.com – Penjor merupakan persembahan kepada Hyang Betara Gunung Agung, tempat bersemayamnya para dewa. Penjor merupakan batang bambu lengkap yang dihias dengan daun kelapa muda yang dibentuk secara khusus. Sekilas, wujudnya menyerupai umbul-umbul. Biasanya penjor dibuat setinggi 10 meter, yang merupakan simbol gunung tertinggi.
Umat Hindu Bali mempercayai bahwa Gunung Agung merupakan tempat berstananya Hyang Bathara Putra Jaya beserta dewa dan para leluhur. Jadi, gunung merupakan istana Tuhan dengan berbagai manifestasinya.
Penjor, dikutip dari situs PHDI Bali, menjadi perlambang syukur dan ucapan terima kasih atas hasil bumi yang dianugerahkan-Nya. Dan, Gunung Agung sebagai pemberi kemakmuran itu.
Tercatat di dalam lontar Jayakasunu, penjor melambangkan Gunung Agung. Selanjutnya, di lontar Basuki Stawa disebutkan bahwa gunung adalah naga raja, yang tidak lain adalah Naga Basuki. Dalam mitologi, dasar Gunung Agung dikenal sebagai linggih Sang Hyang Naga Basuki.
Dari kata Basuki inilah timbul nama Besakih. Naga Basuki, dalam Basuki Stawa, dilukiskan bahwa ekornya berada di puncak gunung dan kepalanya di laut, yang merupakan simbol bahwa gunung adalah waduk penyimpanan air yang kemudian menjadi sungai. Akhirnya, bermuara di laut.
Maka, mitologi dari penjor yang dihias sedemikian rupa untuk upacara keagamaan atau adat Hindu Bali, merupakan simbol naga. Sanggah yang ditempatkan pada bambu penjor memakai pelepah kelapa adalah simbol leher dan kepala Naga Taksaka, ada kelapa yang digantungkan di atas sanggah penjor, tempat menaruh sesaji.
Lalu, gembrong yang dibuat dari janur yang dihias melingkarkan di dekat kelapa, menggambarkan rambut naga. Sampian penjor dengan porosan, yang menggantung di ujung bambu paling atas, yang berbentuk melengkung adalah ekor Naga Basuki atau simbol gunung.
Hiasan yang terpasang sepanjang bambu dari bawah hingga atas penjor, yang terdiri dari gantung-gantungan padi, ketela, jagung, kain, dan sebagainya, merupakan simbol bulu Naga Ananta Bhoga, sebagai tempat tumbuhnya sandang dan pangan.
Penjor pada perayaan galungan ditancapkan pada hari selasa, anggara, wuku dungulan yang bertepatan dengan hari penampahan galungan yang memiliki makna tegaknya dharma atau kebaikan. Penempatan penjor juga tidak sembarangan yang biasanya berada disebelah kanan pintu masuk pekarangan rumah.
Jenis penjor bagi umat Hindu ada dua, yaitu penjor sakral dan hiasan. Namun untuk penjor sakral juga ada perbedaan antara penjor yang dipasang saat Galungan dan Kuningan dengan penjor yang dipasang saat upacara yadnya atau karya besar di wilayah tertentu.
Penjor Galungan dan Kuningan bentuknya lebih simpel dengan segala kelengkapannya, yakni pala bungkah berupa umbi-umbian atau ketela rambat, pala gantung berupa kelapa, mentimun, pisang, nanas, dan lain lain, palawija berupa jagung, padi, dan lainnya, jajan, dan yang terpenting adalah sanggah ardha candra yang terbuat dari bambu dengan tambahan sesajennya.
Sementara untuk penjor saat upacara yadnya, terdapat syarat dan kelengkapan yang disesuaikan dengan paruman di masing-masing wilayah yang menggelar upacara ngenteg linggih itu. Sanggah yang dipasang di penjor juga dilengkapi payung kecil atau tedung yang warnanya disesuaikan dengan kesepakatan.
Banten yang dihaturkan di penjor juga lebih lengkap karena berisi banten pejati sebagai simbol dari harapan agar karya yang digelar berjalan sukses dan lancar.
Sedangkan untuk penjor hiasan, umumnya tidak menggunakan sanggah. Penjor ini dipasang saat lomba desa, pesta kesenian, maupun kegiatan besar yang ingin memperlihatkan ciri khas Bali dalam pelaksanaannya. Kegiatan ini tidak berhubungan dengan upacara keagamaan umat Hindu. (Ni Wayan Linayani/balipost)