Ilustrasi. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Terminal Lucidity yang ditemukan pada abad ke-19, hingga kini belum ada penjelasan medisnya. Fenomena ini terjadi ketika pasien yang menderita penyakit kronis tampak kembali segar dan kesehatannya membaik.

Banyak catatan tentang fenomena ini ditemukan pada abad ke-19. Salah satunya, pada 1887, seorang dokter asal Inggris bernama William Munk mencatat fenomena ini sebagai “pemulihan sebelum kematian”, atau lucidity before death.

Kemudian, pada tahun 2009, pakar biologi Jerman Michael Nahm mengulangi fenomena ini dengan menyebutnya terminal lucidity dalam studi yang diterbitkan di Journal of Near-Death Studies.

Fenomena terminal lucidity adalah ketika seseorang tiba-tiba mendapatkan kejernihan mental atau kognisi setelah kehilangan kemampuan untuk berkomunikasi atau berpartisipasi dalam perilaku penting lainnya.

Baca juga:  India Lampaui 18 Juta Kasus COVID-19, Laporkan Rekor Baru dan Hari Paling Mematikan

Hal ini biasanya terjadi pada penderita demensia tahap akhir yang kehilangan kemampuan berfungsi dan tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain.

Namun, orang dengan kondisi lain, seperti kanker atau kerusakan otak akibat stroke, juga dapat mengalami terminal lucidity.

Dalam kebanyakan kasus, terminal lucidity hanya berlangsung beberapa jam atau beberapa hari.

Selama fenomena ini, orang dapat melakukan hal-hal yang tidak dapat mereka lakukan sebelumnya, seperti meminta makanan favorit mereka, berbicara dengan kata-kata yang lengkap dan jelas, berdiri dan berjalan atau bergerak selayaknya orang sehat.

Beberapa pasien mengalami terminal lucidity. Salah satu yang pernah diteliti adalah seorang wanita lanjut usia yang menderita penyakit Alzheimer selama 15 tahun dan sudah lama tidak mengingat orang lain.

Baca juga:  Atas Kematian Jurnalis Tribrata, KKJ Minta Atensi Presiden

Namun, tiba-tiba pada suatu malam, ia memulai percakapan dengan putrinya seperti orang sehat. Ia berbicara tentang banyak hal, mulai dari kekhawatirannya akan kematian hingga masalah yang telah ia hadapi. Tapi ia meninggal setelah beberapa jam.

Pada 1812, Benjamin Rush, salah satu Bapak Pendiri Amerika Serikat dan psikiater yang dikenal sebagai “Bapak Psikiatri Amerika”, sempat memberikan penjelasan tentang terminal lucidity. Rush menduga bahwa respons saraf yang disebabkan oleh sakit dan demam dapat menyebabkan kebocoran di bilik otak.

Selain itu, lucidity terminal pada pasien demensia diuji dalam penelitian terbaru Turki pada 2021. Hasilnya, menjelang kematian, produksi neurotransmiter berubah, yang menyebabkan pemulihan memori sementara pada pasien.

Baca juga:  Gunung Agung Kembali Erupsi

Dari 338 kematian yang dilaporkan, hanya ada 6 fenomena Terminal Lucidity pada pasien di sebuah rumah sakit pendidikan, dan semua pasien meninggal dalam 9 hari setelah fenomena tersebut.

Sebuah studi dari 2023 menemukan bahwa 73% dari 33 petugas kesehatan yang disurvei melihat fenomena Paradoxical Lucidity.

Terlepas dari kenyataan bahwa penelitian ini secara khusus berkonsentrasi pada Paradoxical Lucidity, ada kemungkinan bahwa beberapa hasil penelitian sebenarnya mengacu pada Lucidity Terminal. Pada 22,2% dari fenomena yang dilaporkan, orang meninggal dalam waktu tiga hari, dan 14,8% lainnya meninggal dalam waktu tiga bulan. (Dimas Bayu Airlangga/balipost)

BAGIKAN