Oleh John de Santo
Di negara-negara maju seperti Inggris, AS, dan Jepang, telah muncul gelombang kecemasan baru terhadap turunnya minat baca di kalangan masyarakatnya. Berbagai kajian, menunjukkan bahwa, turunnya minat baca itu terjadi seiring dengan berkembangnya teknologi komunikasi.
Semakin sedikit ditemukan orang yang membaca buku dengan sungguh-sungguh. Hal ini ditenggarai menyulitkan pengembangan diri, terutama cara berpikir kritis. Jika tidak dicegah, maka masyarakat dunia akan kehilangan salah satu fondasi penting yang menopang peradabannya. Bagaimana kita menyikapi hal ini?
Hal ini seyogyanya menjadi keprihatinan kita juga. Bagaimana tidak, hasil PISA 2022 yang diumumkan pada 5 Desember 2023, dan melibatkan sekitar 690 siswa dari 81 negara, menunjukkan bahwa Indonesia hanya mencatat kemampuan literasi pada skor 359. Salah satu yang terendah di dunia. Dengan kemampuan literasi selemah itu, perhatian generasi muda kita justru sudah tersita oleh berbagai konten media digital.
Bahkan kalangan terdidik pun, sudah kehilangan kesabaran untuk membaca teks-teks yang panjang dan sulit. Kebiasaan berkonsentrasi diganti dengan kebiasaan membaca sepintas dan skroling. Tenggat waktu konsentrasi manusia pun semakin pendek.
Sebuah kajian memperlihatkan bahwa, rata-rata tenggat waktu konsentrasi manusia 12 detik pada tahun 2000. Dengan kedatangan media sosial, tenggat waktu konsentrasi turun. Pada 2013 tenggat waktu konsentrasi manusia rata-rata turun menjadi 9 detik dan pada 2015 turun lagi menjadi 8.25. Tenggat waktu terakhir ini lebih pendek dari tenggat waktu konsentrasi seekor ikan mas (goldfish) yang 9 detik.
Pedang Bermata Dua
Teknologi itu ibarat pendang bemata dua. Di satu pihak, teknologi telah memudahkan penyebaran informasi yang luas dalam waktu singkat. Namun di lain pihak, ia juga berhasil memfragmentasi kemampuan berpikir manusia. Kita bahkan semakin kewalahan oleh noise dan sensasionalisme yang dibawa teknologi.
Berita utama clickbait dan postingan media sosial lebih mudah mengalihkan perhatian dan emosi kita dari ketekunan untuk mengolah kecerdasan. Inilah yang mengakibatkan, mengapa manusia rentan terhadap informasi yang salah dan hoaks. Padahal, sebagaimana kita ketahui, para tokoh besar dan penemu seperti Steve Jobs, Bill Gates, Ellon Musk adalah pembaca buku yang tekun. Mereka mengetahui, bahwa hanya dengan menenggelamkan diri ke dalam kegiatan membaca, orang dapat benar-benar memproses informasi dan membuat keputusan-keputusan yang masuk akal dan bisa dipertanggungjawabkan.
Pendapat atau opini kita sekarang, lebih sering terbentuk oleh konfirmasi bias dan retorika ketimbang fakta dan bukti yang kuat. Kita mengonsumsi informasi, tanpa cukup mencernanya. Dan hal ini justru menggerogoti dasar bagi sebuah bangunan demokrasi yang sehat, karena didomninasi oleh penduduk yang terdidik dan tercerahkan karena suka membaca.
Barangkali penulis terlalu menyederhanakan dengan mengatakan bahwa masyarakat kita sudah kehilangan minat baca, bahkan sebelum memilikinya. Mungkin lebih tepat, dikatakan bahwa kemampuan kognitif dasar kita rendah ketika kita dituntut memanfaatkannya di depan raksasa teknologi media. Selain itu, kita juga hanya memindai posting online untuk menemukan sudut pandang yang mengkonfirmasi bias kita, ketimbang mempertimbangkan berbagai sudut pandang. Kita membiarkan pemikiran kita dipengaruhi oleh suara-suara vokal di media sosia ketimbang wacana yang serius, mendalam dan beralasan.
Seiring munculnya ChatGPT, ada yang berpendapat bahwa AI mendatangkan ancaman eksistensial terbesar di era digital. Algoritme canggih dapat mengotomatisasi pekerjaan, dapat memanipulasi melalui deepfake, dan mempersenjatai disinformasi. Tetapi bagaimanapun sistem AI masih dirancang oleh manusia.
Sebaliknya, matinya kemampuan membaca justru membahayakan kemampuan berpikir kritis kita. Pikiran merancang, membangun, mengatur, dan menggunakan teknologi untuk kebaikan atau keburukan. Pikiran yang membuat penilaian etis dengan konsekuensi global. Kehilangan kemampuan untuk memahami dunia di sekitar kita dan memahami ide-ide yang kompleks, adalah krisis eksistensial.
Dalam hemat penulis, kegiatan membaca tidak sekedar keterampilan fungsional. Ia memaparkan kita pada berbagai ide, budaya, dan pengalaman baru. Buku memungkinkan kita untuk membayangkan kehidupan lain sekaligus memperluas pandangan kita tentang dunia dan kehidupan.
Membaca yang mendalam dan bijaksana melatih kapasitas mental kita. Ia mengembangkan fokus, keterampilan analitis, dan pemikiran abstrak. Membaca juga dapat membangun empati dan kasih sayang. Melalui cerita, kita mendapatkan wawasan emosional tentang kondisi manusia. Singkatnya ketidakmampuan membaca justru menghambat pertumbuhan kognitif dan kecerdasan emosional.
Penulis, Pendidik dan Pengasuh Rumah Belajar Bhinneka