Ketut Riana mendengarkan vonis kasus OTT yang dihadapinya, Kamis (3/10). (BP/asa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Majelis hakim yang diketuai Gede Putra Astawa dengan hakim anggota Ni Made Oktimandiani dan Iman Santoso, Kamis (3/10) membacakan putusan kasus OTT dengan terdakwa Bendesa Berawa, I Ketut Riana.

Hakim menilai bahwa terdakwa terbukti melakukan pemerasan pada investor, sehingga terdakwa Riana dihukum pidana penjara selama empat tahun dan denda Rp 200 juta, subsider empat bulan penjara. “Terdakwa Ketut Riana terbukti melakukan pidana korupsi secara berlanjut,” ucap hakim Pengadilan Tipikor Denpasar.

Dalam beberapa pertimbangan, hakim menilai bahwa terdakwa selaku bendesa menerima gaji atau insentif dari negara. Itu merupakan penghargaan pada bendesa adat dalam menjaga adat dan budaya di Bali. Hakim juga menilai berdasarkan bukti digital forensik, bahwa unsur paksaan meminta duit dari investor telah terbukti atau terpenuhi.

Riana berkali-kali dan secara berulang-ulang menanyakan soal uang Rp 10 miliar pada saksi Andianto Nahak. Dan permintaan itu tidak pernah disampaikan oleh terdakwa dalam paruman adat. Namun dilakukan secara diam-diam tanpa diketahui prajuru adat, dan perbuatan tersebut dinilai dapat mencoreng citra bendesa adat.

Baca juga:  Ini Hasil Investigasi 5 Pasien Positif COVID-19 Tanpa Riwayat Penularan

Terkait uang Rp 100 juta, hakim memutuskan untuk dikembalikan pada saksi Andianto Nahak. Hakim menyebut, terdakwa terbukti melanggar Pasal 12 huruf e Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No: 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Atas vonis tersebut, I Ketut Riana yang didampingi kuasa hukumnya Gede Pasek Suardika, mengaku bingung atas putusan hakim.

“Saya selaku Bendesa Adat Berawa bingung dengan keputusan majelis hakim. Karena saya tidak pegawai negeri, tidak merugikan negara, jadi hukumannya seperti ini yang dijatuhkan oleh majelis hakim” ucap Riana.

Baca juga:  Pertama di Bali, Jembrana Dapat Mesin Pengolah Sampah Menjadi RDF

Ia mengatakan jika dirinya pegawai negeri, mestinya dia dapat NIP dan SK dan tunjangan. Namun di sini, kata dia, bendesa itu ngayah dan tidak ada batas waktu. “Kalau pegawai negeri, pasti ada waktu kerja. Di situ saya agak bingung,” ucap Riana yang terlihat sedih dengan putusan Hakim Pengadilan Tipikor Denpasar.

Sementara kuasa hukum terdakwa, Pasek Suardika, menyatakan menghormati putusan hakim. Namun demikian, dia melihat ada kontradiktif dalam putusan hakim.

Jika dilihat pasal, kata Pasek, memang pasal 12 ancaman hukuman minimal empat tahun. “Jadi, empat tahun adalah hukuman paling bawah di antara ancaman pasal. Tetapi fakta sidang kan sudah jelas. Yang membuat Perda saja mengatakan bahwa Bendesa Adat tidak rerima gaji. Yang membuat Perda ini kemudian dikalahkan dengan tafsir yang ada di luar yang tidak hadir di sidang,” ucap Pasek.

Baca juga:  Pelabuhan Tanah Ampo, Dibangun 12 Tahun Lalu Sampai Kini Tak Beroperasi

Kedua, Bendesa disebut sebagai status pegawai negeri. Jika demikian, kata Pasek, saksi ahli menyebutkan selain ada imbalan, ada urusan pekerjaan dan lain sebagainya, harus ada SK. Yakni ada keputusan dari lembaga pemerintah. MDA kan bukan lembaga pemerintah. Jadi, kalau pengukuhan MDA ditafsirkan sebagai keputusan yang merupakan status pegawai negeri, ya itu menurut kami konyol,” jelas Pasek.

Lantas, apakah akan menempuh upaya hukum? Pasek menjelaskan bahwa pihaknya akan mempelajari terlebih dahulu putusan hakim, dan sepekan ini dia masih menyatakan pikir-pikir.

Begitu juga JPU Wayan Genip dkk, masih menyatakan pikir-pikir atas putusan majelis hakim. (Miasa/balipost)

BAGIKAN