Theresia Mutiara Galistya. (BP/Istimewa)

Oleh Theresia Mutiara Galistya, SST, M.Si

Sebagai salah satu destinasi wisata utama dunia yang menjadi magnet jutaan wisatawan, Bali dihadapkan pada suatu tantangan besar. Di balik gemerlap pariwisata, ada masalah lingkungan yang tak bisa diabaikan, yakni tekanan terhadap hutan Bali.

Dalam artikel bertajuk “Hutan untuk Pariwisata Perparah Krisis Air di Bali”, I Made Iwan Dewantama, seorang aktivis lingkungan, menegaskan isu krusial yang relevan di tengah meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan dan dampaknya terhadap sumber daya alam Bali, khususnya hutan (Balipost.com,2024).

Perhutanan sosial yang merupakan perwujudan Nawacita telah digagas sebagai salah satu prioritas nasional dalam mengatasi masalah lingkungan dan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat. Tetapi pertanyaannya, apakah perhutanan sosial dan
pariwisata Bali dapat berkolaborasi secara harmonis atau justru menjadi disonansi yang sulit diatasi?

Sejauh ini, kontribusi sektor pariwisata terhadap PDRB Bali terus meningkat, dari 18,33 persen pada tahun 2020 menjadi 19,93 persen pada tahun 2023 (Bali.bps.go.id).
Potensi ekonomi ini digadang akan terus meningkat seiring dengan peningkatan nilai tambah komponen pariwisata.

Baca juga:  Merdeka dari “Overtourism”

Namun, perkembangan infrastruktur pariwisata nyatanya berdampak pula pada degradasi lingkungan, terutama kawasan hutan. Luas lahan hutan di Bali terus mengalami penurunan akibat alih fungsi lahan.

Sebagai contoh, hasil klasifikasi tutupan lahan dengan
citra Landsat 8 pada tahun 2016 dan 2022 di Kabupaten Jembrana menunjukkan bahwa terjadi penurunan tutupan lahan berturut-turut sebesar 41,76 km2 dan 0,07 km2 untuk hutan/vegetasi dan badan air (Aryastana, dkk, 2024).

Demikian halnya di Kabupaten Klungkung, pada 2016 sampai 2021 terjadi penurunan luas kerapatan vegetasi sebesar 35,11 km2 atau sebesar 11,39 persen (Aryastana, dkk, 2023). Disonansi ini menimbulkan dilema besar, bagaimana menciptakan pertumbuhan ekonomi melalui pariwisata tanpa merusak ekosistem hutan yang menjadi fondasi keberlanjutan.

Baca juga:  Destinasi Pariwisata Ditargetkan Mulai Dibuka di Oktober 2020, Selanjutnya Apa?

Salah satu langkah inovatif yang ditempuh pemerintah yakni dengan menawarkan program Perhutanan Sosial.
Mengedepankan pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan, perhutanan sosial diharapkan mampu menjadi suatu solusi mempertemukan kepentingan lingkungan dengan sektor pariwisata yang menjadi andalan ekonomi Bali.

Dengan skema perhutanan sosial, wisatawan mendapatkan pengalaman wisata yang autentik, masyarakat mendapatkan penghasilan tambahan, dan hutan tetap lestari. Pada gilirannya, Bali mampu mempertahankan daya tarik alaminya sekaligus memberdayakan komunitas sehingga menciptakan
harmoni antara manusia (Bhuana Alit) dan alam (Bhuana Agung).

Selain itu, perhutanan sosial sekaligus menjadi gerbang mitigasi perubahan iklim melalui Program Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) yang didukung PBB (forestsnews.cifor.org). Agar perhutanan sosial dan pariwisata Bali berkolaborasi secara harmonis, diperlukan pendekatan holistik yang
melibatkan semua pihak.

Baca juga:  Membangun Ekonomi Bali Utara

Peran strategis pemerintah, swasta, LSM, dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan pembangunan pariwisata Bali yang berkelanjutan dan inklusif. Langkah kebijakan yang dapat ditempuh diantaranya melalui pembangunan basis data kepemilikan lahan yang akurat dan terkini dari pengelola perhutanan sosial.

Selain itu, penegakan regulasi kelembagaan dan efektivitas peradilan dalam penyelesaian tumpang tindih klaim lahan hutan, penguatan promosi ekowisata, penyediaan dukungan infrastruktur yang memadai, disertai peningkatan pelatihan dan penyaluran dukungan finansial bagi masyarakat lokal dalam mengelola wisata hutan.

Dari upaya tersebut, Bali bisa menjadi contoh sukses terciptanya simfoni harmonis perhutanan sosial dan pariwisata. Simfoni ini, meskipun kompleks, mampu mewujudkan perhutanan sosial yang berperan optimal
melindungi hutan, menjaga sumber daya air, sekaligus menjadi motor penggerak ekonomi melalui pariwisata ramah lingkungan.

Penulis, Statistisi Ahli Muda pada Tim Neraca Wilayah dan Analisis Statistik

BAGIKAN