Warga sedang jogging sambil menikmati keindahan hamparan sawah. Alam Bali semakin dieksploitasi dan budayanya kian tidak dihargai seiring makin majunya sektor pariwisata. (BP/Melynia Ramadhani)

DENPASAR, BALIPOST.com – Ketergantungan yang demikian besar, menjadikan pariwisata seakan-akan
adalah segala-galanya. Alam Bali semakin dieksploitasi dan budayanya kian tidak dihargai.

Dua fenomena terakhir, yakni dijualnya tebing di Nusa Penida dan kejadian kembang api di salah satu beach club di Berawa saat digelarnya ritual umat Hindu menjadi indikator pariwisata makin tak menghargai alam dan budaya Bali.

Sejumlah pihak telah bereaksi atas hal yang dirasakan sangat mengganggu benak publik Bali tersebut. Ketua Fraksi Gerindra DPRD Badung, Wayan Puspanegara memberikan pernyataan keras dan tegas.

“Terkait adanya gelaran pesta kembang api dan musik
keras di saat umat hindu menggelar upacara yadnya
yang di-puput sulinggih di pantai, menunjukan adanya
arogansi, tidak respect dan tidak ada rasa empati serta simpati pada kegiatan keagamaan dimaksud,”
tegasnya menanggapi peristiwa di Pantai Berawa yang
riuh di media sosial tersebut.

Baca juga:  Lima Perwira Polres Bangli Pindah Tugas

Puspanegera menyebut peristiwa itu sebagai tragedi
budaya, hal yang menunjukkan sikap mementingkan
kepentingan bisnis pelaku pariwisata, sekaligus sebagai pelanggaran etika dan tata krama. Sebagai wakil rakyat, Puspanegara tak ragu merekomendasikan agar izin beach club tersebut dicabut atau ditutup.

“Ini adalah pelanggaran etika, dan tatakrama, oleh karena itu kami Fraksi Gerindra Badung meminta Plt.
Bupati Badung melalui Dinas pariwisata dan Dinas
Perizinan-DPMPTSP Badung untuk mencabut ijin opera-
sional beach club tersebut, sekaligus jika belum ada langkah kongkrit, kami Fraksi Gerindra merekomendasikan beach club tersebut ditutup,” tegasnya.

Baca juga:  Tambahan Kasus COVID-19 Mulai Turun, Korban Jiwa Naik dari Sehari Sebelumnya

Sementara itu, Pj. Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya mengaku menyesalkan peristiwa ini karena sangat tidak pantas. “Semua pihak termasuk pelaku usaha, wajib untuk menghargai, menghormati, dan menjaga adat-istiadat, tradisi, dan budaya Bali. Atas peristiwa tersebut, saya sudah menugaskan kepada OPD terkait untuk memanggil para pihak guna dimintai keterangan,” kata Sang Made Mahendra Jaya.

Kekuatan pariwisata yang mulai merusak alam dan budaya Bali salah satunya terlihat dari maraknya penjualan tanah, sawah dan bahkan tebing-tebing. Seperti di Nusa Penida, dimana beredar luas di media
sosial, video yang menunjukkan ada tebing yang telah dikepras dan terpampang tulisan “FOR SALE”.

Baca juga:  Optimalkan PAD, Badung "Berburu" Data WP

Terhadap hal ini, Mahendra mengungkapkan bahwa
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali belum mengetahui status kepemilikan tebing yang dijual itu. Mahendra Jaya menegaskan bahwa Pemprov Bali akan melakukan pengecekan lebih lanjut terkait legalitas dan status kepemilikan lahan tersebut.

“Saya belum tahu status kepemilikan tanah tersebut. Kami cek dulu,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (16/10).

Lebih lanjut, Mahendra menjelaskan bahwa terkait penjualan tanah, hubungan antara pemilik dan pembeli memang diperbolehkan selama sesuai dengan peraturan yang ada. Namun pemanfaatan lahan tersebut harus diatur sesuai dengan tata ruang yang
berlaku di Bali. “Kalau penjualan tanah, antara pemilik dan pembeli. Yang diatur adalah pemanfaatan sesuai tata ruang,” terangnya. (kmb/balipost)

BAGIKAN