Putu Eka Dianita Marvilianti Dewi. (BP/Istimewa)

Oleh Putu Eka Dianita Marvilianti Dewi

Mendengar Bali tentunya yang terlintas dalam pikiran kita adalah keindahan alam dan budaya. Sampai saat ini kedua faktor tersebut masih menjadi daya tarik utama bagi pariwisata Bali.

Dekade 80-90an merupakan masankejayaan pariwisata
budaya dan wisata alam. Kejayaan dalam hal ini bukan semata mata dilihat dari perspektif ekonomi melainkan bagaimana proses patiwisata saat itu bisa berjalan berbanding lurus dengan kepentingan budaya dan proteksi alam. Tanpa kita sadari para leluhur Bali, sudah mewariskan suatu bentuk atau format perilaku yang secara implisit mengharuskan masyarakatnya untuk menjaga kelestarian budaya dan alamnya tersebut.

Sebagai contoh, ada beberapa tempat yang menjadi daya tarik wisata, seperti; pantai, gunung, danau dan pura. Berbagai sumber alam yang semua berintegrasi dengan aktivitas budaya; pantai dengan malasti, gunung sebagai simbol kesucian yang kita wajib menghaturkan pakelem atau sesajen pada saat-saat tertentu dan begitu juga dengan danau dan pura.

Baca juga:  Perempuan dan Budaya “Speak-up”

Proses perilaku budaya inilah yang dicari wisatawan asing pada dekade itu. Apakah kita sudah menjadikan budaya dan alam sebagai industri saat itu? Menurut saya itu

industri tapi bukan eksploitasi, hal itu terlihat dari bagaimana idealisme masyarakat dalam berbudaya dan menjaga alamnya, yang membuat pariwisata selalu mengikuti perilaku budaya.

Tidak bisa dipungkiri mayoritas masyarakat Bali hidup dari sektor industri pariwisata, namun sangat disayangkan dengan kemajuan industri pariwisata yang tak terkendali justru membuat pergeseran perilaku pengunjung dan juga masyarakat Bali itu sendiri. Dulu sebagian besar wisatawan asing yang datang ke bali murni bertujuan untuk berlibur dan menikmati budaya dan keindahan alamnya tapi saat ini mereka justru melihat peluang bisnis dari perkembangan industri pariwisata yang tak terkendali ini.

Baca juga:  Sektor Kosmetik Tumbuh 5,59 Persen di Tengah Pandemi

Bukan hanya dalam investasi besar, dalam level UMKM pun sekarang ini mereka menjadi pelaku.

Hal itu dapat dilihat dari maraknya pembangunan vila yang dikelola oleh manajemen asing. Khususnya di daerah pariwisata, sangat jarang kita bisa menikmati pepohonan di tepi aliran sungai karena hampir 80 % dibangun private vila, di tepi pantai sangat banyak beach club dan restoran bahkan terkadang di beberapa daerah sangat sedikit space masyarakat untuk melakukan aktivitasnya di pantai. Ini menunjukkan perkembangan industri pariwisata terkadang membatasi ruang untuk masyarakat “berbudaya”.

Seperti ini industri mengeksploitasi tanah Bali. Perkembangan industri pariwisata ini akan menjadi bermanfaat apabila kita masyarakat Bali siap dengan SDM yang mumpuni, karena dengan memiliki SDM yang baik tentunya kita bisa sebagai bagian dari kendali dari perkembangan ini, bukan hanya sebagai penonton ataupun pelaku pengembira semata.

Baca juga:  Tak Patuh Protokol Kesehatan, Izin Produksi Puluhan Industri Dicabut

Tanpa kita sadari keterbukaan kita terhadap investasi justru melemahkan nilai atau taksu Bali yang sejatinya adalah nilai luhur dari budaya kita. Penurunan nilai budaya ini berbanding lurus dengan kualitas wisatawan yang datang ke Bali saat ini, seperti yang kita lihat beberapa waktu terakhir ini banyak sekali kasus-kasus keonaran dan bahkan perbuatan pidana yang dilakukan oleh wisatawan mancanegara.

Kejadian-kejadian ini justru membuat semakin murahnya nilai industri pariwisata kita di mata dunia.

Sudah waktunya berbenah, kita sepakat menjadikan Bali Pariwisata Budaya tetapi kita tidak menjual budaya untuk pariwisata.

Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Akuntansi Universitas Udayana Angkatan-4

BAGIKAN